Sunday, October 30, 2011

Pasar CPO Eropa Masih Bagus

London - Pasar minyak sawit di Eropa kian membaik, seiring dengan hasil pertemuan pejabat Uni Eropa yang menghasilkan rekapitalisasi bank berikut penggunaan stabilitas keuangan Eropa, atau European Financial Stability Facility (EFSF).
Seperti ditulis Reuters, langkah itu dilakukan guna mencegah terjadinya penurunan pasar. Alhasil baik Indonesia maupun Malaysia tetap dapat mempertahankan pangsa pasar di Eropa, lantaran minyak sawit masih merupakan minyak nabati yang termurah. Dikatakan seorang agen minyak sawit asal Malaysia , kondisi pasar minyak .
sawit saat ini tidak terlalu bearish, jika melihat proyeksi produksi terakhir. (Yaniar)
( dikutip dari www.infosawit.com )

SMART Raih Sertifikat RSPO

Jakarta - Pada tanggal 5 september 2011, PT. SMART Tbk resmi meraih sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) untuk PKS Padang Halaban berikut rantai pasoknya. (Atep)
( dikutip dari www.infosawit.com )

Monday, October 10, 2011

Moratorium Lahan Kontraproduktif untuk Sektor Perkebunan



JAKARTA - Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dinilai kontraproduktif bagi masa depan usaha perkebunan di tanah air. Inpres tersebut tidak saja menghambat ekspansi lahan untuk perkebunan, namun juga dikhawatirkan menurunkan tingkat kesejahteraan petani.

Dalam Inpres yang merupakan tindak lanjut dari penandatanganan letter of intent (LoI) antara pemerintah RI dengan Norwegia tersebut, selain hutan primer, pemanfaatan lahan gambut juga dihentikan pemanfaatannya. Padahal pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian memberikan banyak dampak positif.

“Pemanfaatan lahan gambut terbukti meningkatkan produksi pertanian, menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri pertanian, penyerapan tenaga kerja, juga meningkatkan pendapatan petani,” kata Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) Prof Dr Hermanto Siregar yang juga Wakil Rektor IPB dalam Diskusi Terbatas “Kontroversi Pemanfaatan Lahan Gambut: Quo Vadis?” di Jakarta, Jumat (27/5/2011).

Hermanto memaparkan, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, sekitar 21 juta hektare (ha) yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di wilayah Asia Tenggara, luas lahan gambut lebih dari 25 juta atau sekitar 69 persen dari lahan gambut tropis dunia. “Sekitar 33 persen dari lahan gambut tersebut dianggap layak dijadikan lahan pertanian,” kata Hermanto.

Selain Hermanto Siregar, tampil sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah Ketua Lembaga Penelitian Universitas Riau Prof Usman Tang, guru besar Manajemen Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Prof Dr Supiandi Sabiham, dan peneliti senior Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian Irsal Las.

Usman Tang juga memaparkan dampak positif pemanfaatan lahan gambut. “Di Kabupaten Indragiri Hilir,Provinsi Riau misalnya, lahan gambut baik untuk pengembangan pertanian dan perkebunan,” katanya. (Sudarsono/Koran SI/wdi)
(diktip dari www.okezone.com)

RI-Brasil Sepakati 6 Agenda Kerjasama Kelapa Sawit



JAKARTA- Sidang Consultative Comitee on Agriculture ke-5 antara Indonesia- Brasil berhasil menyepakati enam agenda yang tertuang dalam Minute of Meeting.

Seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Pertanian Minggu (05/06/2011), Minute of Meeting ini menyepakati enam agenda yaitu segera direalisasikannya kerjasama kelapa sawit diantara kedua belah pihak melalui focal point lewat saluran diplomatik. Kedua belah pihak juga tertarik untuk bekerjasama secara teknik dalam Production Technology, Exchange Technology, Adoption Technology of new variety, Improvement of Acid Soil, Land Preparation, Post Harvest and Marketing.

"Selain itu, Brasil juga bisa mengekspor bebek dan kalkun ke Indonesia setelah melalui kajian Pest Risk Analisis (PRA). Indonesia juga menginginkan pertukaran informasi untuk bisa melakukan ekspor salak, manggis, mangga dan alpukat dan Brazil ingin mengimpor apel, anggur, melon, jeruk dan mangga," tulis laporan tersebut.

Indonesia juga menginginkan kerjasama ethanol atau sugarcane khususnya bioethanol industry in policy program and technical cooperation, dan Collaboration on research and variety improvement. Kedua belah pihak juga sepakat untuk segera menandatangani MoU antara Kementerian Pertanian dan The Brazilian Agricultural Research Corporations Mission (EMBRAPA).

Sebagai informasi, sidang CCA ke-5 antara Indonesia-Brasil dilaksanakan akhir Mei lalu di medan Sumatera Utara. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Kerjasama Internasional, Bapak Prof Dr. Tahlim Sudaryanto, dan Delegasi Brasil dipimpin oleh Direktur Negosiasi Sanitary dan Phito Sanitary Kementerian Pertanian, Peternakan dan ketersediaan Pangan Brasil, Mr. Otavio Cancado.

Pertemuan CCA ke-5 ini membahas issue kelapa sawit, kedelai, buah-buahan dan perkarantinaan, livestock, Sugarcane, dan MOU Kementerian Pertanian dengan EMBRAPA, serta Draft Technical Cooperation Projects (TCPs), kelapa sawit dan sugarcane.
(and)
(diktip dari www.okezone.com)

Antisawit Australia Tak Pengaruhi Ekspor Sawit RI

JAKARTA - Walaupun Australia mengeluarkan pernyataan antisawit, hal tersebut tidak memiliki dampak dan pengaruh terhadap ekspor sawit Indonesia ke beberapa negara.

"Enggak ada masalah, karena ekspor sawit ke Australia kecil, hanya sekira seratusan," ungkap Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Pengekspor Kelapa Sawit Indonesia (GPPKI), Fadhil Hasan, saat dihubungi okezone, Kamis (14/7/2011).

Pihaknya menjelaskan, pernyataan tersebut tidak memiliki dampak yang menjadi pengaruh, jika Australia membuat suatu Undang Undang (UU) terkait kelapa sawit.

"Akan menjadi masalah jika mereka membuat UU terkait permasalahan lingkungan yang dihasilkan dari kelapa sawit, dan itu merupakan citra buruk bagi sawit," ungkapnya.

Menurutnya, itu merupakan strategi dari partai yang bersangkutan, persoalan sawit tentang lingkungan sudah ada sejak era 90-an. "Persoalan lingkungan ada sejak 90-an, tapi tidak terbukti," ungkapnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Australia mengeluarkan pernyataan antisawit tersebut disebabkan karena dalam minyak sawit terdapat lemak jenuh dengan tingkat yang terlalu tinggi, sehingga membahayakan kesehatan. (ade)
(diktip dari www.okezone.com)

Pemerintah Akhirnya Revisi Penetapan Tarif Bea Keluar CPO

jAKARTA - Pemerintah akhirnya melakukan revisi penetapan tarif Bea Keluar (BK) untuk minyak sawit mentah alias Crude Palm Oil. Hasil revisi BK CPO ini kini tinggal menuggu pengesahan dari Menteri Keuangan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan tim tarif sudah menyelesaikan revisi aturan mengenai BK CPO.

"(Revisi BK CPO) sudah selesai, nanti kalau sudah keluar secara resmi akan disampaikan," ujarnya, usai rapat kerja dengan Komisi VI, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/7/2011).

Bambang menuturkan, beberapa poin revisi aturan BK CPO antara lain mengenai batas bawah harga CPO yang kena BK dan juga prosentase BK. "Untuk batas bawah harganya USD750 per ton," katanya.

Namun, Bambang masih enggan merinci seberapa besar revisi tarif BK ini. Bambang hanya mengurai batas maksimal tarif BK ini akan direvisi menjadi lebih rendah dari 25 persen tapi lebih tinggi dari 15 persen.

Dengan kata lain, batas bawah harga CPO yang dikenakan BK naik dari aturan BK yang berlaku selama ini. Adapun aturan lama BK ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 223/PMK.011/2008 tentang penerapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar yang digantikan dengan PMK Nomor 67 tahun 2010 mengenai BK.

Adapun isi dari PMK tersebut adalah pengenaan harga CPO USD700 per ton, tarif yang dikenakan sebesar 0 persen, harga CPO dari kisaran USD700 per ton-uSD750 per ton dikenakan BK sebesar 1,5 persen, harga CPO USD750 per ton - USD800 per ton dikenakan BK sebesar tiga persen, dan harga CPO sebesar USD800 per ton-USD850 per ton dikenakan BK 4,5 persen.

Sedangkan untuk harga CPO antara USD850 per ton-USD900 per ton dikenakan BK sebesar enam persen, harga CPO di kisaran USD950 per ton - USD1.000 per ton dikenakan BK 7,5 persen. Harga berkisar USD 1.200 per ton-USD 1.250 per ton dikenakan BK sebesar 22,5 persen dan diatas USD1.250 per ton maka BK yang dikenakan sebesar 25 persen.

Sedangkan untuk prosentase pengenaan BK yang baru adalah nol persen untuk harga CPO hingga USD700 per ton, dan sebesar 25 persen untuk harga CPO lebih dari USD1.250 per ton. (ade)
(diktip dari www.okezone.com)

Baru 2 BUMN Perkebunan Sawit Raih Sertifikat RSPO

JAKARTA - Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mencatat baru dua BUMN perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sudah memegang sertifikat RSPO bagi beberapa lahannya.

Minimnya sertifikasi ini, menurut Direktur RSPO Indonesia Desi Kusumadewi, memang dikarenakan porsi lahan penggarapan BUMN yang sedikit jika dibandingkan dengan lahan yang digarap perusahaan swasta.

"BUMN itu hanya mengerjakan sekira 600 ribu hektare (ha) dari 7,6 juta ha lahan sawit yang ada di Indonesia, jadi memang porsinya sedikit. Selain itu, BUMN juga terkendala masalah dokumentasi karena sebenarnya mereka sudah melakukan kegiatan yang disyaratkan tetapi tidak mengiringinya dengan dokumentasi," ungkap Desi, di Hotel Le Meridien, Kamis (11/8/2011) malam.

Sebagai informasi, sampai saat ini, RSPO Indonesia telah memberikan sertifikat kepada 24 lahan kelapa sawit di Indonesia yang dikelola berbagai perusahaan baik BUMN maupun swasta. Selain itu, masih ada pula 22 lahan yang sudah disertifikasi tetapi masih menunggu proses sertifikat. Dari jumlah itu, hanya dua BUMN yaitu PTPN III dan PTPN IV yang telah mendapatkan sertifikat RSPO untuk beberapa lahannya.

"PTPN III sudah dua lahannya di Seimangke disertifikasi, masih ada 10 lahan lagi, mereka mentargetkan tahun depan sudah semua. Kalau PTPN IV ada tiga lahannya yang sudah disertifikasi, itu di Pematang Siantar, jumlah total lahannya saya kurang paham," lanjutnya.

Sebagai informasi, RSPO adalah lembaga internasional yang memberikan sertifikat kepada lahan-lahan sawit yang menyatakan bahwa pengelolaan lahan sawit tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan.

Data RSPO sendiri mencatat, sampai saat ini di Indonesia lahan kelapa sawit yang sudah mendapat sertifikat RSPO masih di bawah lima persen. Lahan-lahan kelapa sawit yang dikelola petani khususnya, masih belum ada yang mendapat sertifikat tersebut. (ade)
(diktip dari www.okezone.com)

Industri Sawit Tak Terpengaruh RSPO

JAKARTA - Pengunduran diri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) dari Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) diyakini tidak akan berdampak buruk terhadap kinerja industri sawit nasional.

Tenaga Ahli Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Timbun Aritonang mengatakan, Indonesia tidak perlu takut ekspor sawit terganggu. Hal itu, kata dia, mengingat Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia.

“Industri sawit kita aman. Kenapa sekarang takut-takut sih. Kita punya sawit sendiri. Kalau Gapki mengundurkan diri, anggota-anggotanya kan tidak seperti itu,” kata Timbun di Jakarta, Selasa (4/9/2011).

Timbun menilai, keputusan Gapki itu merupakan hal yang wajar. “Kalau mereka mau keluar ya terserah. Di dalam RSPO, sudah ada semua kriteria dan prosedur tentang seperti apa industri sawit itu. Kalau saya lebih memilih ISPO ketimbang RSPO,” jelasnya.

Bahkan, kata dia, pengunduran diri Gapki bisa menarik investasi di sektor sawit. “Kalau ada yang butuh sawit kita, kan bisa datang langsung ke Indonesia untuk ambil sendiri atau investasi,” ucapnya.

Sementara itu, melalui keterangan tertulisnya, Gapki menyatakan, keputusan tersebut diambil setelah melalui pertimbangan panjang dan matang dengan melibatkan Dewan Pengurus dan Dewan Pembina Gapki.

Latar belakang keputusan ini adalah komitmen sepenuhnya Gapki dalam mendukung Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai platform sustainability yang bersifat mandatory (wajib diikuti) di Indonesia.

Gapki sangat menghormati mematuhi, dan mendorong prinsip dan standar pengolahan kelapa sawit yang berkelanjutan. Gapki memberikan keleluasaan serta kebebasan kepada anggotanya untuk tetap menjadi anggota RSPO.

Namun pada saat yang sama, Gapki mewajibkan anggotanya mengikuti dan mematuhi ISPO sebagai kerangka dan skema pengelolaan berkelanjutan sesuai dengan peraturan pemerintah Indonesia yang berlaku. Gapki memandang positif adanya ISPO, karena mendukung terciptanya alternatif framework standar dan sertifikasi industri kelapa sawit. (mrt) (Sandra Karina/Koran SI/rhs)
(diktip dari www.okezone.com)

Industri Sawit Indonesia Kalah dari Malaysia

JAKARTA - Kinerja industri kelapa sawit Indonesia dinilai masih rendah ketimbang Malaysia. Terutama di industri olahan minyak sawit.

Kepala Sub Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non Pangan Lainnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Sri Hadisetyana mengatakan, dari total ekspor minyak sawit nasional, baru 30 persen minyak sawit olahan, sedangkan sisanya non-olahan. Sedangkan di Malaysia, 70 persen ekspornya adalah minyak sawit olahan yang memiliki nilai tambah.



Produk turunan CPO, kata dia, memiliki nilai tambah yang sangat tinggi. Untuk itu, kata dia, sangat dibutuhkan program hilirisasi sawit. Sri mencontohkan, minyak goreng bernilai tambah 60 persen, RBD stearine 90 persen, margarine 180 persen, fatty acid 300 persen, fatty alcohol 400 persen, metil ester 500 persen, surfaktan 800 persen, dan kosmetika sekira 1.200 persen.

Namun, kata dia, beberapa hal dinilai masih menghambat kinerja industri sawit nasional, seperti penerapan Bea Keluar dan keterbatasan teknologi.

“Namun sekarang sudah dilakukan revisi Bea Keluar CPO, di mana bea keluar produk semakin ke hilir semakin rendah, ini akan memacu hilirisasi produk minyak sawit,” jelas Sri di Jakarta, Selasa (4/10/2011).

Kemenperin mencatat, pada tahun lalu, luas perkebunan kelapa sawit di Malaysia mencapai 5,1 juta hektare (ha) dengan produksi sekira 19,3 juta ton per tahun. Sedangkan luas lahan Indonesia 7,1 juta ha dengan produksi sekira 19,3 juta ton per tahun. Sedangkan luas lahan Indonesia 7,1 juta ha dengan produksi 22 juta ton per tahun. (mrt) (Sandra Karina/Koran SI/rhs)
(diktip dari www.okezone.com)

Pertumbuhan Industri Kelapa Sawit Memprihatinkan



JAKARTA - Pertumbuhan industri pengolahan kelapa sawit yang masuk dalam kategori pertumbuhan industri perkebunan, cukup memprihatinkan dan perlu perhatian serius pemerintah.

Pengamat ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latief Adam mengatakan, yang menjadi dasar penilaian kondisi industri kelapa sawit yang memprihatinkan lantaran industri perkebunan yang tumbuh negatif sejak triwulan IV-2010. Data terbaru pada triwulan I-2011 yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sektor perkebunan tumbuh negatif sebesar 19,94 persen.

"Di sektor perkebunan, kelapa sawit merupakan yang terbesar kontribusinya. Kalau perkebunan mengelami pertumbuhan negatif, maka kelapa sawit juga tumbuh negatif,” tegas Latief, di Jakarta, Senin (9/5/2011).

Dia menuturkan, pihaknya mengidentifikasi, selain persoalan anomali musim yang tidak menentu, pertumbuhan industri kelapa sawit yang negatif disebabkan karena maksimalnya pengelolaan potensi kelapa sawit baik oleh petani, pengusaha, maupun pemerintah. Sehingga berimbas pada menurunnya performa industry kelapa sawit. Padahal, kata dia, Indonesia tercatat sebagai pemilik lahan kelapa sawit terbesar di dunia.

Pihaknya mencatat, performa pengolahan kelapa sawit di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia. Produksi kelapa sawit di Indonesia hanya 50 persen dibandingkan produksi di Malaysia. Latief menyebutkan, produksi kelapa sawit di Indonesia hanya tiga juta ton per hektar (ha), sementara Malaysia mampu memproduksi enam juta ton per ha.

Menurutnya, jarak antara produktivitas kelapa sawit Indonesia dan Malaysia cukup besar dan harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Tentu saja, untuk jangka panjang, menurunnya performa produktivitas kelapa sawit, akan berimbas pada tergerusnya kinerja ekspor.

“Ekspor kita terbesar dari kelapa sawit. Kalau ini dibiarkan, untuk jangka pendek memang tidak terlihat, tapi jangka panjang bukan tidak mungkin terjadi penurunan ekspor kita,” imbuhnya.

Ekspansi lahan perkebunan sawit yang tengah digencarkan oleh pemerintah akan percuma jika tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas. (Wisnoe Moerti/Koran SI/ade)
(diktip dari www.okezone.com)

Mesin Pencacah Tandan Sawit

Gejolak ekonomi permintaan CPO berkurang



Jakarta (ANTARA News) - Permintaan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia dari Eropa dan Amerika Serikat (AS) kemungkinan akan berkurang karena gejolak ekonomi yang terjadi di kedua kawasan tersebut, kata pengamat pasar, Ifan Kurniawan.
"Ekspor CPO Indonesia ke kawasan Eropa cukup berarti yang mencapai 20 persen, karena itu pada semester kedua 2011 permintaannya akan merosot tajam," kata analis PT First Asia Capital tersebut di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, Indonesia harus dapat memanfaatkan permintaan China dan India yang saat ini cukup besar, terutama menjelang peringatan hari kebudayaan.

"Karena itu, berkurangnya permintaan pasar Eropa akan dapat ditutupi dengan makin besarnya permintaan CPO di pasar Asia," ucapnya.

Ia mengatakan, harga komoditas itu saat ini mengalami penurunan, akibat melemahnya harga minyak mentah dunia yang sebelumnya mendekati angka 100 dolar AS per barel kini mencapai 80 dolar AS per barel.

"Kami optimistis harga CPO pada semester kedua 2011 akan berada di kisaran 1.000 sampai 1.100 dolar AS per ton," katanya.

Produksi CPO Indonesia, dikatakannya, diperkirakan mencapai 23 juta ton, sedangkan kebutuhan pasar dalam negeri hanya enam juta ton.

Menurut dia, kebutuhan pasar lokal tetap dapat dipenuhi tidak ada masalah, sedangkan sisanya akan digunakan untuk memenuhi pasar ekspor.

Sementara itu, ia mengemukakan, gejolak ekonomi di AS diperkirakan akan dapat di atasi, setelah keluarnya data indeks jasa AS yang mengalami kenaikan pada Agustus mencapai 53,3 persen dari sebelumnya 52,7 persen yang di luar perkiraan para analis.

"Analis memperkirakan indeks jasa AS hanya mencapai 51 namun kenyataan indeks itu mencapai 53,3," katanya.

AS sebelumnya menerapkan program paket stimulus tahap satu dan dua, namun pertumbuhan ekonominya hanya sekitar satu persen jauh diluar target sebesar tiga persen.

"Karena itu, AS terus berusaha mendorong ekonomi agar tetap tumbuh dengan menerbitkan obligasi," katanya.
(T.H-CS/B008)

Editor: Priyambodo RH
(dikutip dari www.antaranews.com)

Malaysia investasi bioetanol 350 juta dolar AS

Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan Malaysia, Lestari Pasifik Berhad, menginvestasikan dana 350 juta dolar AS untuk mengembangkan bioetanol dari olahan ampas kelapa sawit di Indonesia.

"Kami menargetkan bisa membangun 316 perusahaan bio-refinery dalam lima tahun ke depan dengan nilai investasi sebesar 350 juta dolar AS," kata CEO Lestari Pasifik Berhard, Dato Dr Clement Tan Wei Loon, di Jakarta, Senin.

Ia menambahkan, setiap satu pabrik diperkirakan memerlukan biaya investasi 3,5 juta ringgit Malaysia.

Rencananya pabrik-pabrik pengolahan ampas kelapa sawit (bonggol kelapa sawit) sisa pengolahan industri kelapa sawit akan dibangun di dekat perusahaan kelapa sawit yang tersebar di berbagai provinsi di indonesia.

"Untuk merealisasikan investasi ini kami menggandeng PT Inkud Exchange untuk mendirikan perusahaan joint venture pengolahan ampas kelapa sawit," katanya.

Pihaknya merupakan perusahaan pemegang lisensi teknologi pengolahan ampas kelapa sawit bernama mekano-enzimatik system dan merupakan perusahaan patungan dengan Rusia.

Teknologi tersebut akan diterapkan di Indonesia yang dinilainya merupakan negara dengan luas lahan perkebunan sawit terbesar di dunia dengan luas kebun kelapa sawit mencapai hampir 8 juta ha yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia.

Selama ini, ampas atau bonggol kelapa sawit tidak dimanfaatkan oleh industri kepala sawit dan hanya dijadikan pupuk atau dibakar. Untuk mengangkut bonggol yang dianggap sisa dalam industri kelapa sawit itu dibutuhkan dana Rp150 ribu per delapan ton.

Pihaknya menilai hal itu sangat tidak efisien karena bonggol kelapa sawit dapat diolah menjadi bioetanol dengan teknologi tertentu yang ramah lingkungan.

Sementara itu, Direktur PT Inkud Exchange, Herman Y.L. Wutun, mengatakan, pihaknya akan mendirikan perusahaan patungan dengan Lestari Pasifik Berhad dengan pembagian kepemilikan saham 51 persen untuk Lestari Pasifik dan 49 persen PT Inkud Exchange.

"Teknologi untuk memproses bonggol sawit menjadi bioetanol merupakan teknologi baru yang hak patennya dimiliki oleh Lestari Pasifik Berhad yang berasal dari negara penghasil sawit terbesar di dunia, yakni Malaysia," katanya.

Menurut dia, dengan didirikannya banyak pabrik pengolahan ampas kelapa sawit di Indonesia, maka investasi itu akan berpotensi menghasilkan lebih banyak bioetanol sebagai bahan bakar alternatif yang cukup untuk konsumsi dunia.

"Kami targetkan akhir tahun ini sudah mulai dibangun pabrik pengolahan bonggol kelapa sawit. Pilot project ada di Sumatera," katanya.

Perusahaan patungan itu ke depan berpotensi memproduksi 6-6,5 juta liter bioetanol seharga 4 juta dolar AS per liter sebagai tambahan pendapatan dari industri kelapa sawit.

Vice President, Strategy & Planning Lestari Pasifik Berhad, Saravanan Rasaratnam, berpendapat, tambahan pendapatan itu merupakan nilai tambah yang potensial dalam industri kepala sawit.

"Apalagi sampai saat ini hampir semua negara di dunia berinisiatif untuk menemukan bahan bakar alternatif untuk kendaraan. Saat ini, bahan bakar kendaraan masih menggunakan diesel dan bensin, hanya 10 persen kendaraan di dunia yang sudah menggunakan bahan bakar alternatif ramah lingkungan," katanya.

Pengolahan bonggol kelapa sawit sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol, kata Rasaratnam, merupakan alternatif yang tepat karena bonggol selama ini tidak dimanfaatkan dalam industri kelapa sawit.

Bonggol sawit juga tidak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sehingga tidak ada potensi kompetisi dengan kebutuhan pangan manusia justru merupakan upaya pemanfaatan limbah menjadi bahan yang lebih berguna.

(H016/A027)

Editor: Suryanto

(dikutip dari www.antaranews.com)

Sinar Mas: perang dagang gerus prospek sawit



Pontianak (ANTARA News) - Pemimpin Sinar Mas Grup Wilayah Kalimantan Barat Susanto menegaskan, adanya perang dagang secara perlahan menggerus prospek pengembangan kelapa sawit di Indonesia.

"Saat ini banyak isu-isu yang disebarkan sengaja untuk menekan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, karena itu masyarakat kita jangan mudah terpancing isu-isu yang belum tentu kebenarannya," kata Susanto saat dihubungi dari Pontianak, Rabu.

Ia menjelaskan, ancaman perang dagang yan berawal dari isu tak benar tentang sawit itu sebenarnya pernah dialami komoditas lain, yakni gula. Dahulu Indonesia salah satu produsen gula terbesar di dunia, tetapi sekarang malah negara pengimpor gula akibat kalah perang dagang.

"Apakah hal itu mau terulang pada pengembangan kelapa sawit yang kini posisi Indonesia sebagai pengekspor `crude palm oil` (CPO, minyak kelapa sawit) terbesar di dunia, karena kalah perang dagang," kata CEO Perkebunan Kelapa Sawit Sinar Mas Wilayah Kalbar Susanto.

Data dari "Oilworld", Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar sejak tahun 2006, dan mengalahkan Malaysia yang dulu menguasai industri sawit dunia. Tahun 2005 produksi minyak sawit Indonesia masih 14 juta ton/tahun, di bawah Malaysia yang saat itu 15 juta ton/tahun.

Di tahun 2006 produksi minyak sawit Indonesia meningkat menjadi 16,5 juta ton/tahun, sementara produksi minyak sawit Malaysia di bawahnya. Kemudian tahun 2008 produksi Malaysia sebesar 18,5 juta, Indonesia tembus 20 juta ton dan tahun 2009 produksi minyak sawit Indonesia meningkat lagi menjadi 21 juta ton, Malaysia malah menurun.

Menurut Susanto, ancaman perang dagang sudah dimulai. Ia mengutip hasil analisis konsultan sawit terkemuka dari Inggris James Fry, yang meramalkan 2030 daya saing minyak sawit jauh menurun dibandingkan minyak nabati lainnya akibat biaya produksi membengkak.

Menurut James, awal tahun 2000 biaya produksi minyak sawit paling rendah dibandingkan dengan biaya produksi minyak kedelai, "rapeseed" dan minyak bunga matahari yang diproduksi negara-negara di Eropa dan AS. Biaya produksi minyak sawit sekitar 220 dolar AS/ton, setengahnya dari biaya produksi minyak nabati lainnya sekitar 440 dolar AS/ton.

James memprediksikan keadaan lebih parah tahun 2030, karena biaya produksi minyak sawit Indonesia akan melonjak mendekati angka 350 dolar AS/ton, sedangkan biaya produksi minyak nabati lain terus menurun hingga di bawah biaya produksi minyak sawit Indonesia.

Peningkatan biaya produksi minyak sawit Indonesia, menurut James yang dikutip Susanto, disebabkan banyak faktor, di antaranya beragam isu negatif yang dihembuskan tentang sawit, mulai dari minyak sawit yang mengganggu kesehatan hingga isu lingkungan efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.

"Tapi, sesungguhnya isu negatif itu hanyalah trik `perang dagang` dari negara produsen minyak nabati lainnya, yang sadar tidak mampu menyaingi Indonesia dalam produksi minyak kelapa sawit," katanya.

Karena itu, kata Susanto, analisis James hendaknya diantisipasi dan ditanggapi serius oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, agar pengembangan minyak sawit tidak terhalang faktor isu negatif tersebut.

Susanto optimistis dengan masih luasnya sumber daya alam berupa lahan dan sumber daya manusia seperti di Provinsi Kalbar, produksi minyak sawit bisa terus ditingkatkan.

"Tetapi peluang itu akan hilang kalau masyarakat tidak sama persepsinya tentang sawit. Masyarakat perlu memberikan pandangan positif terhadap pengembangan kelapa sawit," katanya.

Ia menungkapkan, pengembangan perkebunan sawit telah ikut berperan dalam pengentasan warga dari kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar. Karena dari setiap 100 hektare kebun kelapa sawit memerlukan sedikitnya 55 tenaga kerja sarjana, terdiri atas pekerja langsung 25 orang dan tidak langsung 30 orang.

Perkebunan kelapa sawit juga punya misi mengentaskan kemiskinan dengan menjadikan buruh tani sebagai pemilik dengan penghasilan Rp30 juta/hektare/tahun, atau meningkat jauh dibanding penghasilan petani padi ladang Rp10 juta/hektare/tahun, berdasarkan data BPS tahun 2009.

Sejak tahun 2010 Sinar Mas Grup, dalam pengembangan sawit agar berdampak positif ke masyarakat, menggandeng Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak dan perguruan tinggi lainnya di Indonesia sebagai tim independen untuk meneliti dan menilai terkait banyaknya isu-isu seputar pengembangan sawit di Kalbar.

Ia mengatakan, Sinar Mas dalam perkembangannya, selain membuka akses wilayah terpencil dengan membangun infrastruktur jalan, juga turut meningkatkan kualitas pendidikan putra daerah, dengan memberi beasiswa kepada 200 siswa yang baru lulus pendidikan SMA ke Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian sejak tahun 2009.

"Beasiswa ini terbuka untuk putra Kalbar setiap tahunnya," kata Susanto.
(U.A057/Z004)

Editor: Ruslan Burhani

COPYRIGHT © 2011
(dikutip dari www.antaranews.com)

Riau lepaskan 400 ribu hektare hutan

Pekanbaru (ANTARA News) - Pemerintah Provinsi Riau mengusulkan pelepasan sedikit-dikitnya 400.000 hektare hutan dalam proses pembaruan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Riau (RTRWP).

"Ada sekitar 400 ribu hektare kawasan yang dahulu berstatus hutan, pada RTRWP yang baru akan berubah status dan fungsinya," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Zulkifli Yusuf, ketika dihubungi di Pekanbaru, Jumat.

Ia menjelaskan, proses perubahan status hanya akan dilakukan pada hutan produksi menjadi area penggunaan lain. Menurut dia, pemerintah daerah berkomitmen untuk mempertahankan dan menjaga kawasan konservasi di Riau.

"Selain itu, kawasan hutan konservasi prosesnya juga banyak yakni harus perlu persetujuan dari DPR," katanya.

Menurut dia, alasan pengubahan status hutan itu dengan mempertimbangan kondisi terkini di lapangan. Ia mengatakan pengubahan status itu karena kawasan yang berstatus hutan produksi ternyata kondisinya sudah berubah dan tak berbentuk hutan lagi.

"Perubahan status hutan itu akan diperuntukkan bagi masyarakat, pebisnis dan pemerintah provinsi," katanya.

Zulkifli mengatakan pemerintah daerah sangat berhati-hati dalam mengajukan proses perubahan status hutan itu. Dengan revisi stasus hutan dalam RTRWP itu, luas hutan di Riau akan berkurang dari 4,3 juta hektare menjadi 3,9 juta hektare.
(F012)

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © 2011
(dikutip dari www.antaranews.com)

Kelapa Sawit Boleh Ditanam di Hutan Produksi



Jakarta (ANTARA News) - Kementrian Kehutanan mempersiapkan Peraturan Menteri yang memperbolehkan penanaman kelapa sawit menjadi bagian dari pembangunan hutan tanaman.

"Peraturan Pemerintah (PP)-nya sudah ada, tinggal peraturan menteri saja. Kita akan segera mengeluarkannya," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Produksi Kehutanan (BPK) Kementrian Kehutanan, Hadi Daryanto, di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, Permenhut yang mengatur tentang tata laksana usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan ini diharapkan dapat menekan kerusakan.

Hadi menambahkan Permen itu merujuk PP yang memperbolehkan dimasukkannya perkebunan sawit sebagai bagian dari usaha sektor kehutanan, namun, bukan berarti akan menarik kewenangan Kementerian Pertanian di sektor tersebut.

"Melalui peraturan ini diharapkan investasi di kelapa sawit tidak akan mengorbankan kawasan hutan, namun tetap berjalan," katanya.

Dia mencontohkan kebijakan negara tetangga Malaysia yang memasukkan system pengelolaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari kegiatan sector kehutanan. Bahkan organisasi dunia Food and Agriculture Organization (FAO) mendifinisikan pengelolaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari kegiatan di kawasan hutan.

"Ketentuan ini akan mendorong dan menaikkan investasi di sektor kehutanan. Namun kalau Badan Pusat Statistik (BPS) memasukkan kelapa sawit dalam subsektor pertanian tidak masalah," katanya.

Menurut dia, sangat bodoh jika pemerintah Indonesia menggunakan dikotomi atau membedakan antara perkebunan dan kehutanan. Apalagi diatur perundang-undangan, seperti UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan peraturan seperti PP 6 tahun 2007 memperbolehkan penanaman pohon perkebunan dalam kawasan hutan tanaman.

"Dalam peraturan tersebut dikatakan, tanaman berbagai jenis bisa dimasukkan dalam sektor kehutanan."

Apabila sektor perkebunan kelapa sawit masuk menjadi bagian kegiatan kehutanan, lanjutnya, akan ada HTI mozaik yang tidak hanya berisi tanaman keras di seluruh hamparan, tetapi juga ada tanaman kelapa sawit.

"Jika masuk kebun maka semua sawit, tapi di kehutanan ada mozaik, 70 persen tanaman pokok, 25 persen tanaman kehidupan dan 5 persen tanaman pangan," katanya.

Menurut dia, izin yang diberikan untuk perkebunan sawit di hutan produksi nantinya bukan berupa hak guna usaha (HGU), karena dengan HGU seperti menjadi milik pribadi, sehingga investor akan melakukan efisiensi sehingga semua ruang akan ditanami sawit.

Ia mencontohkan, di kehutanan ada Hutan Tanaman Industri (HTI) yang lebih bagus dari segi lingkungan karena ada zoning. Ketentuan ini akan diberlakukan untuk investasi kelapa sawit yang baru dan kepada regenerasi dari investasi yang sudah jalan.

"Aturan ini susah diterakan untuk hutan tanaman yang sudah jalan. Pada waktunya nanti, regenerasi baru akan diberlakukan," katanya. (A027/K004)

Editor: B Kunto Wibisono

COPYRIGHT © 2010
(dikutip dari www.antaranews.com)

Reaktor Biogas Limbah Sawit

JAKARTA, KOMPAS.com -- GenPower Carbon Solutions, perusahaan pengembang proyek pengurangan emisi menargetkan pembangunan sebanyak mungkin reaktor biogas dari limbah kelapa sawit. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi emisi dari industri kelapa sawit yang kerap dituding sebagai pelaku bisnis yang tidak ramah lingkungan.

Senior Manager GenPower Carbon Solutions Henricus Hutabarat menjelaskan, reaktor biogas itu dapat mengubah limbah buangan industri kelapa sawit menjadi biogas yang dapat dimanfaatkan menjadi energi.

Henricus menjelaskan, GenPower menyiapkan dana sebesar Rp 2-3 juta dollar AS untuk setiap proyek pembangunan reaktor biogas. "Target kami membangun reaktor biogas sebanyak mungkin di Indonesia. Bisa dibayangkan di Indonesia terdapat sekitar 600 pabrik kelapa sawit, dapat menghasilkan energi yang bermanfaat bagi perusahaan maupun masyarakat sekitar pabrik," ungkapnya.

Henricus meyakinkan pabrik kelapa sawit tidak mengeluarkan sepeser pun dana untuk pembangunan reaktor biogas. Hasil biogas pun bebas dimanfaatkan oleh pabrik kelapa sawit. Saat ini, sedang dalam tahap awal persiapan proyek perdana adalah pabrik kelapa sawit milik Asian Agri.

Bagi GenPower Carbon Solutions yang merupakan anak perusahaan energi First Reserve Corporation di AS, pengurangan emisi karbon itu yang menjadi tujuannya. Melalui skema clean development mechanism (CDM) yang disepakati dalam Protokol Kyoto, negara maju dibebani investasi untuk proyek pengurangan emisi di Indonesia.

Dengan "membeli" karbon dari negara berkembang seperti Indonesia, mereka dapat mengurangi semacam pajak emisi yang dihasilkan perusahaannya.
(dikutip dari www.kompas.com)

CSR, Pengurang Beban Pajak


Biaya tertentu yang dikeluarkan untuk kegiatan CSR kini dapat dikompensasi menjadi pengurang nilai pajak. Kebijakan ini diatur Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.03/2011


Setiap perusahaan kelapa sawit kini dapat mengajukan klaim pengurangan biaya pajak tertanggung, senilai biaya-biaya tertentu yang sudah dikeluarkan perusahaan untuk mendukung kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Inilah bentuk insentif kepada setiap pelaku usaha yang melaksanakan program CSR.


Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pasal I tertulis, tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan, komunitas setempat, maupun masyarakat secara umum.


Bab V pasal 74 mengatur secara gamblang maksud dan tujuan implementasi tanggung jawab sosial dan lingkungan, berikut perusahaan yang bergerak di sektor apa saja yang wajib melakukannya. Juga, segala biaya yang muncul akibat penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan, menjadi beban perusahaan secara keseluruhan. Bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kebijakan itu bakal dikenakan sanksi.


Kebijakan ini semula ditentang oleh banyak pelaku usaha. Pasalnya, pemerintah seolah-olah melimpahkan kewajiban dalam membina masyarakat dan menjaga lingkungan kepada dunia usaha. Hingga kini, penerapan CSR masih bersifat sukarela, belum menjadi kewajiban (mandatori).


Dalam perjalanannya, pada 30 Desember 2010 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Sosial, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.


Secara umum PP No 93 Tahun 2010 terdiri 10 pasal itu mengatur jenis kegiatan CSR apa saja yang bisa menjadi pengurang beban pajak. Pasal 1 menyebut ada lima kegiatan sosial dan lingkungan yang bisa menjadi pengurang beban pajak. Pertama, sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional.


Kedua, sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang ada di wilayah Indonesia dan disampaikan lewat lembaga penelitian dan pengembangan, ketiga, sumbangan fasilitas pendidikan, keempat, sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan kelima, biaya pengunaan infrastruktur sosial untuk keperluan pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.


Melihat biaya yang ditimbulkan kegiatan sosial dan lingkungan itu cukup besar, maka pasal 2 menyatakan, segala bentuk biaya yang ditimbulkan itu setidaknya tidak menjadi beban bagi perusahaan dan membuat perusahaan merugi.


Aturan itu mencatat tidak semua beban biaya yang dikeluarkan perusahaan guna implementasi kegiatan sosial dan lingkungan dapat sepenuhnya menjadi pengurang beban pajak. Pasal 3 menyebutkan, hanya 5% dari total biaya yang bisa diganti lewat mekanisme pengurang beban pajak.


Untuk teknis perhitungan dan bentuk pelaporan kegiatan sosial dan lingkungan perusahaan dijelaskan lebih detail pada PMK No 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
(dikutip dari www.infosawit.com)

Pekebun Mandiri

How long can you go, pekebun mandiri?

Pendahuluan

Keadilan, kedaulatan, keberlanjutan, kemandirian, dan lain-lainnya adalah kata yang sering kita dengar dan diungkapkan oleh politisi sampai aktivis. Kata-kata tersebut indah dan menyenangkan sehingga kesadaran kita dininabobokan. Hampir semua politisi sampai aktivis sering menggunakan kata-kata tersebut. Semua orang bersepakat dan tidak mendebat kata-kata tersebut. Pertanyaannya, bagaimana mengimplentasikannya kata-kata tersebut. Disinilah berbagai pihak akan berdebat.

Salah satu kata yang ingin penulis elaborasi disini adalah persoalan kemandirian. Bung Karno sendiri mengungkapkan persoalan kemandirian dengan kata berdikari, atau berdiri di kaki sendiri, dalam pidatonya ‘Tjapailah bintang-bingtang dilangit!’ bertema TAKARI—tahun berdikari tanggal 17 Agustus 1965, Bung Karno mempertegas tentang demokrasi ekonomi di Indonesia.

Berhubungan dengan perkebunan kelapa sawit, adalah penting, bagaimana kemandirian di perkebunan kelapa sawit. Apakah perkebunan yang dibangun saat ini sudah menumbuhkembangkan kemandirian. Siapa yang ingin dimandirikan, Apakah pekebun mandiri? Atau siapa? Bagaimana skenario-skenario agar lahir pekebun-pekebun mandiri. Tulisan ini berkeinginan mendiskusikan hal-hal ini.

Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit

Dalam sejarah perkebunan di Indonesia, perkebunan rakyat kelapa sawit baru muncul belakangan dibanding perkebunan rakyat komoditas lain seperti karet, lada, dan kopi. Pada awalnya kelapa sawit hanya diusahakan oleh perkebunan besar baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun oleh perusahaan swasta (Soetrisno: 1991). Salah satu sebabnya yang paling penting adalah bahwa membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan modal uang dan teknologi yang sangat mahal. Teknologi processing minyak sawit masih merupakan teknologi yang hanya bisa dibeli dan dikuasai oleh perkebunan besar. Namun seiring dengan perkembangan waktu, rakyat di sekitar lingkungan perkebunan besar mulai dapat belajar menanam kelapa sawit kemudian hasilnya dijual kepada perusahaan besar.

Jika pada awalnya jenis perkebunan besar dan perkebunan rakyat kelapa sawit berjalan sendiri-sendiri secara terpisah. Dalam perkembangan selanjutnya terutama sejak tahun akhir tahun 1970-an, hubungan antara keduanya mulai mengalami interaksi yang intensif. Hal ini antara lain didorong oleh program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau Nucleus Estate And Smallholder Development Project (NES) dikembangkan pemerintah pada akhir tahun 1980-an. Bahkan dengan serangkaian program PIR BUN, KKPA dengan bantuan modal asing, maka muncul percepatan pembukaan areal-areal baru, termasuk yang dikaitkan dengan program transmigrasi oleh pemerintah. Secara definitif kemudian istilah perkebunan rakyat mengacu kepada kedua jenis pekebun tersebut, baik yang berasal dari inisiatif rakyat sendiri maupun dari hasil program yang dikembangkan pemerintah.

Dalam perhitungan luas areal kebun sawit, maka luas areal pada ketiga kategori perkebunan (perkebunan rakyat, perkebunan swasta, dan perkebunan nasional) tersebut selama 25 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dari segi persentase, perkembangan paling tinggi justru pada perkebunan rakyat. Jika pada tahun 1980 luas areal perkebunan rakyat baru 6 ribu hektar, maka pada tahun 2000 menjadi 1.167 ribu hektar, dan meningkat lagi di tahun 2005 menjadi 1.917 ribu hektar. Jika di tahun 1980 luas areal perkebunan rakyat hanya mencakup 2,1% dari total areal kelapa sawit nasional, maka pada tahun 2005 menjadi 34,3%.

Sebenarnya model kategori perkebunan di Indonesia bilamana dilihat lebih mendalam terbagi menjadi dua kategori yakni pertama, perkebunan besar yang dimiliki oleh perkebunan nasional dan perkebunan swasta dan kedua, perkebunan kecil yang dimiliki oleh rakyat. Bila kita tengok sejarah, perkebunan-perkebunan nasional adalah hasil nasionalisasi dari perkebunan-perkebunan swasta asing di waktu Pemerintahan Soekarno. Untuk lebih ‘menggampangkan’ maka pembagian kategori perkebunan dilakukan menjadi tiga bukan dua yakni perkebunan nasional, perkebunan swasta, dan perkebunan rakyat.

Tabel 1. Luas Areal Kelapa Sawit antara Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta, 1980 – 2009 (ribu hektar)



Jika melihat perkembangan luas areal perkebunan rakyat sebagaimana tergambar dalam tabel 1, maka akan timbul kesan bahwa perkebunan rakyat mengalami percepatan yang lebih tinggi ketimbang jenis perkebunan lain. Rata-rata perkembangan luas areal untuk perkebunan rakyat mencapai 27,1% atau di atas rata-rata pertumbuhan areal nasional sebesar 12,9%, sedangkan perkebunan swasta dan nasional masing-masing hanya sebesar 15,6% dan 5,2%. Namun kalau dilihat dari sifat perkebunan rakyat sebagaimana ciri awal (gagasan awal perkebunan rakyat senantiasa dikaitkan dengan kontrol rakyat terhadap aset-asetnya, teknik budidaya dan pengembangannya, kelembagaannya, serta kejelian rakyat dalam melihat pasar) yakni “kebebasan dan otonomi” mereka menanam atas inisiatif sendiri, maka peningkatan besaran 27,1% pertahun atau luasan 1,9 juta hektar pada tahun 2005, memunculkan pertanyaan berapa persenkah yang masih tetap memiliki ciri-ciri awal perkebunan rakyat. Mempersoalkan hal ini sangat penting mengingat inisiatif program pengembangan PIR sebenarnya merupakan program yang didorong dari “luar” pelaku perkebunan rakyat itu sendiri, meskipun dalam inisiasi programnya bertujuan untuk meningkatkan peranan perkebunan rakyat sebagai soko guru perekonomian nasional.

Pekebun Mandiri

Merujuk berbagai dokumen resmi, maka istilah pekebun mandiri dapat segera bisa dikenali dengan menyebutnya sebagai bagian perkebunan rakyat yang tidak memiliki keterkaitan dengan perusahaan. Kelompok ini berbeda dengan perkebunan besar swasta ataupun perkebunan besar nasional. Berbeda pula dengan petani plasma, dimana biasanya dikaitkan dengan perusahaan negara (BUMN), dan swasta nasional ataupun asing. Yang membedakan diantara ketiganya antara lain adalah dari segi skala usaha, dimana pekebun mandiri pada umumnya dimiliki oleh individu-individu dengan luas lahan sempit, sedangkan perkebunan swasta atau nasional diusahakan dalam skala usaha yang besar.


Sumber: Vermeulen, 2006



Ada lima kelompok yang menjadi stakeholder di tingkat desa bisa disebutkan sebagi berikut (Vermeulen, 2006) yaitu:

Masyarakat yang terpengaruh yaitu orang atau sekelompok orang yang mendapatkan dampak dari aktifitas di sektor sawit, baik penduduk asli maupun pendatang.
Para pemilik tanah. Di sejumlah desa seluruh penduduk yang terlibat dalam perkebunan sawit memiliki tanah baik yang diakui oleh Negara maupun yang secara turun temurun diakui oleh komunitas desa. Didesa yang lain terdapat juga sejumlah warga yang tidak memiliki lahan.
Penyedia Jasa dan Pekerja. Mereka bekerja mendapatkan upah dari sektor kelapa sawit, baik perkebunan swasta, perkebunan Negara, maupun bekerja pada pekebun lahan sempit.
Pekebun kecil yang disupport. Mereka adalah para pekebun yang menanam tanaman kelapa sawit dengan mendapatkan bantuan dari pemerintah maupun perusahaan swasta. Bantuan diberikan berupa pinjaman (bisa bersubsidi) untuk membeli bibit, pupuk dan pestisida maupun dalam bentuk bantuan teknis, disamping adanya jaminan kepastian harga.
Pekebun Mandiri. Mereka adalah para pekebun yang memelihara kelapa sawit tanpa bantuan langsung dari pemerintah maupun perusahaan swasta. Para pekebun ini menjual hasil tanamannya pada pabrik pabrik setempat maupun lewat penyedia jasa.



Dari gambar 2 bisa dilihat ada tiga kategori keterkaitan pekebun dengan komunitas lokal yaitu (a) para pekebun (kecil) yang independent, (b) Pola dukungan bagi pekebun sempit, dan (c) Pola pemilik tanah kolektif. Mengingat sifat tanaman kelapa sawit.


Sumber: Vermeulin, 2006



Gambar 3. Model Kontinum dalam kemandirian di petani (perlu didiskusikan lebih lanjut)


Sumber: Surambo, 2009



Dilihat dari ciri-ciri kemandirian dan otonomi, maka fenomena pekebun mandiri secara teoritis dapat adalah suatu kontinum. Pada satu titik ekstrim dapat disebut perkebunan rakyat hasil pengembangan perkebunan PIR sebagai titik kontinum yang rendah dari sisi kemandirian dan otonomi. Pada ekstrim lain dapat ditunjukkan perkebunan rakyat yang “murni” memiliki ciri-ciri kemandirian dan otonomi yang lebih luas. Contoh dari pola terakhir ini adalah tembawang dan dahas di provinsi Kalimantan Barat, Sonor di provinsi Sumatera Selatan, serta kebun-kebun rakyat lainnya. Sumber: Surambo, 2009.

Hal ini sangat berbeda dengan petani sawit swadaya. Petani sawit swadaya adalah petani sawit yang tidak terlibat dalam berbagai skema kemitraan yang diperkenalkan oleh pemerintah. Petani sawit swadaya adalah vis a vis dari petani sawit kemitraan. Pekebun mandiri melintas dari petani sawit kemitraan, petani sawit swadaya, sampai pekebun tembawang, dan lain sebagainya. Hal yang penting dilihat dalam pekebun mandiri adalah persoalan kemandirian dan otonomi yang terbagi ke dalam:

persoalan kontrol rakyat terhadap aset-asetnya,
teknik budidaya dan pengembangannya,
kelembagaannya,
serta kejelian rakyat dalam melihat pasar



bila kita coba detailkan berkenaan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para petani kelapa sawit maka dapat dilihat dalam Gambar 4.

Gambar 4. Pohon Masalah Petani Kelapa Sawit




Skenario Menuju Pekebun Mandiri

Konsep dan strategi yang dapat dijalankan dalam mengembangkan kebun-kebun mandiri harus didasarkan pada visi-misi yang bersifat normatif-ideologis (konstitusional), dan kondisi ekonomi rakyat pekebun sawit secara empirik (positif). Oleh karena itu, pemahaman terhadap visi-misi konstitusi dalam pengelolaan ekonomi nasional menjadi sangat penting. Selain berlatar belakang ketentuan historis, visi-misi konstitusi ini sangat bernilai dalam memberi arah bagi perkembangan perekonomian, termasuk di dalamnya ekonomi perkebunan (sawit) di masa depan.

Pencitaan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi realitas empiris di mana struktur dan sistem ekonominya yang merupakan warisan kolonialisme 3,5 abad. Dominasi bangsa penjajah (Eropa) yang ditopang kelas perantara terhadap massa rakyat pribumi, mendorong pendiri bangsa untuk memimpikan sebuah transformasi struktural. Baik Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka menjadikan tranformasi ini sebagai wujud kemerdekaan sejati, yang tidak hanya berdimensi politik, melainkan juga ekonomi.

Cita-cita inilah yang menjiwai lahirnya Pasal 33 UUD 1945, sebagai landasan pengelolaan ekonomi Indonesia di masa depan, berdasarkan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan). Dalam demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Konsepsi inilah yang sejalan dengan visi transformasi struktur ekonomi di mana tidak akan ada lagi segelintir elit (asing) yang menguasai mayoritas asset (omset) ekonomi nasional. Mengingat ungkapan Hatta (1960):

“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia”

Untuk hal itu, arah bagi pengembangan perkebunan rakyat (pekebun mandiri) sawit adalah restrukturisasi perkebunan sawit seperti digambarkan secara sederhana dalam Gambar 5:


Arah yang dituju adalah struktur perkebunan sawit di mana mayoritas pekebun mandiri dapat menikmati hasil proporsional sesuai dengan partisipasinya yang makin besar dalam proses produksi. Kondisi ini terjadi ketika pekebun mandiri makin dapat meningkatkan penguasaannya terhadap faktor produksi baik material (tanah, modal, dan teknologi), intetelektual (skill, pendidikan), dan institusional (organisasi/koperasi). Penguasaan aset produktif –utamanya tanah (lahan) ini akan menjadi faktor penting dalam usaha peningkatan proporsi hasil produksi yang dinikmati pekebun mandiri. Hal ini tidak seperti dalam struktur feodal-kapitalistik yang menempatkan segelintir elit pemilik tanah dan pemodal besar sebagai penikmat terbesar dari hasil produksi perkebunan.

Struktur ekonomi perkebunan idealnya proporsional sesuai dengan tingkat partisipasi (peranan) pekebun mandiri yang makin diperbesar. Pekebun mandiri diusahakan dapat menggantikan peran perusahaan swasta besar dan dapat bermitra sejajar dengan BUMN. Dengan begitu barulah struktur ekonomi kerakyatan dapat ditegakkan seperti halnya cita-cita Hatta yang sudah terpatri sejak 77 tahun yang lalu:

“Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong—pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya” (Hatta, 1932).

Struktur ekonomi merupakan bangunan hasil interaksi (relasi) antarpelaku ekonomi perkebunan yang terpola dalam sebuah sistem ekonomi perkebunan. Pada umumnya pihak yang kuat (berkuasa) akan berada di posisi determinan, dengan pihak yang lemah sebagai sub-ordinannya. Mereka lah yang pada akhirnya menikmati proporsi besar dalam pembagian hasil produksi perkebunan. Kekuasaan ini diperoleh melalui kepemilikan tanah (lahan), modal, keahlian, teknologi, dan bermacam alat produksi yang digunakan dalam produksi perkebunan sawit.

Dalam sistem feodal-kapitalistik maka kekuasaan tersebut terpusat di segelintir elit pemilik perusahaan perkebunan swasta besar. Massa pekebun mandiri terbiarkan dalam posisi yang sangat lemah dan rentan, di mana perlahan ketergantungan terhadap budidaya monokultur kelapa sawit menjadi makin besar. Oleh karenaya mereka berada pada posisi sub-ordinan perusahaan swasta (PT) dengan pola relasi yang timpang. Pada akhirnya bagian yang mereka terima dari hasil keterlibatan dalam sistem perkebunan ini sangat kecil dan jauh daripada yang dapat dinikmati oleh pemilik perusahaan.

Sungguh pun telah berbagai pola perkebunan sawit, karet, tebu, dan komoditi lain yang diterapkan, namun pada dasarnya masih tetap berpijak pada sistem besar yang sama. Sistem perkebunan sawit yang dikembangkan masih sekedar sub-sistem dari sistem kapitalisme global, yang dalam konteks Indonesia bercampur dengan sistem feodalisme yang belum sepenuhnya ditinggalkan. Oleh karenanya, bangun ekonomi kerakyatan kiranya baru akan kukuh apabila tersusun agenda yang solid untuk melakukan revolusi sistemik perkebunan seperti halnya yang tergambar dalam diagram di bawah ini:


Pola perkebunan sawit yang umum berlaku sekarang masih memposisikan pekebun mandiri dalam situasi ketergantungan yang sangat besar terhadap perusahaan. Perusahaan-lah yang menguasai akses distribusi pupuk, modal usaha, penentuan harga TBS, sortir TBS, keahlian manajerial dan pembukuan, dan operasional pabrik pengolahan. Pekebun rakyat yang menjadi plasma umumnya tidak memiliki alternatif selain menerima berbagai pola dan mekanisme produksi dan pembagian hasil yang diajukan perusahaan. Pun di dalam perusahaan, posisi buruh kebun –terlebih yang berstatus harian, lepas, dan kontrak- tidak lebih baik di banding petani di luar perusahaan.

Oleh karena itu, sistem perkebunan baru yang mengacu pada cita-cita konstitusional, yaitu sistem ekonomi kerakyatan diterapkan melalui penguatan posisi pekebun mandiri di hadapan perusahaan. Pada awalnya dimungkinkan membangun kemitraan sejajar dengan perusahaan yang sudah menguasai begitu banyak aset produksi, tetapi perlahan hendaknya diarahkan ke depan pekebun mandiri sebagai determinan dalam pengelolaan usaha perkebunan sawit. Hal ini sejalan dengan arahan Hatta di mana segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya.

Dalam pada itu, aplikasi sistem ekonomi kerakyatan dapat diusahakan melalui dua pola sekaligus, yaitu pola pekerbunan kerakyatan yang memperkuat posisi pekebun mandiri dan yang memperkuat posisi buruh kebun dalam perusahaan. Pola perkebunan kerakyatan yang kedua menitikberatkan pada peningkatan akses dan kontrol buruh kebun dalam pengelolaan perusahaan. Arahnya adalah agar merekalah yang pada akhirnya -20 tahun ke depan- turut memimpin dan menilik (mengawasi) jalannya perusahaan sawit di Indonesia, untuk kemudian menjadi operatorship perusahaan perkebunan yang dipimpin secara umum oleh pekebun mandiri melalui organisasi (serikat) mereka.

Analisis ini lebih menitikberatkan pada aplikasi model perkebunan kerakyatan yang dapat menempatkan pekebun mandiri sawit yang terorganisir sebagai aktor penting dalam tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Dengan begitu perlahan tapi pasti sistem ekonomi perkebunan sawit bergerak dari corak feodal-kapitalistik menjadi sistem ekonomi kerakyatan. Operasionalisasi sistem ini setidaknya tergambar melalui dua model, yaitu model perkebunan kerakyatan berbasis peranan negara/BUMN (model A) dan model perkebunan kerakyatan berbasis koperasi rakyat (model B).





(Diringkaskan dari Riset Pekebun Mandiri)
(dikutip dari www.sawitwatch.or.id)

PENGARUH BK TERHADAP PETANI KELAPA SAWIT



Dua asosiasi petani kelapa sawit berbeda pendapat soal pengenaan Bea Keluar (BK) bagi petani kelapa sawit. Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia)) yang proses pembentukannya difasilitasi pemerintah menyatakan BK merugikan petani, sedang SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) yang proses pembentukannya difasilitasi LSM Sawit Watch menyatakan, BK tidak mempengaruhi petani.

Anizar Simanjuntak, Ketua Umum Apkasindo minta BK yang dikenakan secara progresif, yang saat ini sudah mencapai 25% perlu ditinjau kembali. BK berdampak langsung terhadap harga penjualan tandan buah segar petani. Setiap pengenaan BK 1% menurunkan harga TBSg Rp19/kg. Pengurangan BK diyakini akan meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan BK 25% saat ini terjadi pengurangan harga TBS sampai Rp475/kg.

BK juga perlu dikembalikan pada petani minimal 25%l untuk membangun infrastruktur terutama jalan karena selama ini jalan untuk mengakut TBS ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit) banyak yang rusak. “Sekarang terjadi ketidakadilan. Pemerintah mengambil banyak sekali dana dari kelapa sawit dengan BK. Tetapi infrastruktur di sentra-sentra perkebunan sawit rusak, terutama jalan. Jalan-jalan ini sebagian besar jalan kabupaten. Kabupaten tidak punya dana untuk memperbaiki sehingga dana BK perlu dikembalikan pada daerah”katanya.

Secara terpisah, Mansietus Darto, Ketua Umum i SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) menyatakan, penerapan BK 25% tidak akan mempengaruhi petani kelapa sawit karena petani kelapa sawit indonesia dalam kenyataannya bukan sebagai pelaku utama atau sebagai subyek dalam penjualan Crude Palm Oil. Petani kelapa sawit hanya sebagai penghasil bahan baku yakni TBS , yang kerjanya juga hanya sampai pada level pabrik.

Jika pun di anggap pajak eksport CPO tersebut dianggap merugikan petani kelapa sawit adalah akibat dari tingkah laku pengusaha perkebunan yang tidak mau rugi dengan membeli TBS dengan kenaikan berkisar Rp100 hingga Rp200. Faktor yang lain yang anggap tidak merugikan petani adalah pembelian TBS milik petani menggunakan standar harga CPO (Harga TBS : K (Harga cpo x Rendemen Cpo) + (Harga inti sawit x Rendemen inti sawit). Sehingga petani tetap memperoleh harga yang sesuai.

Dampak dari pajak progresif tersebut justru membuat rugi pihak pengusaha kelapa sawit di indonesia karena besarnya potongan yang diambil pemerintah. Pengusaha kebun tidak mendapatkan keuntungan untuk ekspansi industrinya dari kenaikan harga CPO. Petani kelapa sawit bukan menjadi salah satu pihak yang dirugikan dalam penerapan pajak progresif namun menjadi pihak yang dirugikan oleh tingkah laku pengusaha perkebunan dalam pembelian harga TBS. Selain itu juga, walaupun pajak eksport tersebut di hapus sesuai permintaan asosiasi pengusaha juga tidak memberi efek bagi kenaikan harga TBS milik petani.

“Kami sangat mendukung upaya yang dilakukan pemerintah asalkan saja pajak ekspor yang masuk ke kas Negara tersebut dipergunakan untuk kemudian memberdayakan petani kelapa sawit dalam, Peremajaan kebun kelapa sawit, peningkatan produksi tandan buah segar, Optimalisasi pengadaan pupuk murah dan sesuai kebutuhan dan distribusi langsung ke kebun petani,penguatan kapasitas petani kelapa sawit, perbaikan infrastruktur kebun, dan pembangunan pembibitan kelapa sawit yang berkualitas dan berharga murah,”katanya.

Selama ini petani kelapa sawit adalah pihak yang selalu di rugikan oleh penguasaha perkebunan kelapa sawit dalam memperoleh harga yang layak. Setiapkali harga CPO naik, ada saja potongan di tingkat pabrik yang tiba-tiba tinggi, seperti misalnya sortasi atau grading TBS milik petani sampai 10 % atau bahkan operasioanal tingkat pabrik dibuat tinggi untuk memperoleh indek K yang rendah yang dapat mempengaruhi rendahnya pembelian TBS milik petani.

Selain itu juga, penting pemerintah membangun industri hilir di Indonesia untuk memperkuat industri nasional. Selama ini Indonesia selalu menjual bahan baku dan selalu tunduk pada negara-negara yang memiliki teknologi tinggi pengolah CPO. “Selama ini, walaupun kita adalah Negara produksen CPO dengan luas lahan kebun sawit tahun 2010 seluas 9,2 juta ha (data SPKS), Indonesia tidak memiliki posisi tawar dan selalu tunduk pada pasar negara konsumen,,”katanya. (Sn)
(dikutip dari www.sawitwatch.or.id)

Potensi Investasi komoditi Kelapa Sawit di Daerah di Indonesia



Ketersediaan Lahan Komoditi Kelapa Sawit

No Nama Daerah Luas Lahan
1 Bangka-Belitung Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 141.897
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 34.659 ha, dan Perkebunan Swasta sebesar 107.238 ha
2 Banten Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 9.192
3 Bengkulu Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 224.651
Status Lahan: Perkebunan Rakyat : 165,627, Perkebunan Negara : 4,725, Perkebunan Swasta : 183,964
4 Jambi Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 489.384
Status Lahan: Perkebunan Rakyat terdiri dari : 320,554 Ha, perkebunan Negara : 18,607 Ha, Perkebunan Swasta : 150,223 Ha
5 Jambi Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 483.866
6 Jawa Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 10.580
7 Kalimantan Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 530.575
Status Lahan: Luas Area Untuk Perkebunan Kelapa Sawit yang terdiri dari perkebunan Rakyat:189,255 Ha, Perkebunan Negara :42,072, Perkebunan Swasta : 299,248 Ha
8 Kalimantan Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 499.542
9 Kalimantan Selatan Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 184.290
10 Kalimantan Selatan Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 312.719
Status Lahan: Luas Area Untu Perkebunan Kopi Terdiri dari Perkebunan Rakyat : 54,550 Ha, Perkebunan Negara: 4,865 Ha, Perkebunan Swasta :253,304 Ha
11 Kalimantan Tengah Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 1.037.500
Status Lahan: Luas Area Perkebunan Kopi Terdiri Dari Perkebunan Rakyat : 108,719 Ha, Perkebunan Swasta: 928,778 Ha
12 Kalimantan Timur Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 409.466
13 Kepulauan Riau Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 2.645
Status Lahan: Perkebunan Rakyat : 2002,645,
14 Lampung Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 152.511
15 Papua Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 26.256
Status Lahan: Luas Lahan Perkebunan kelapa Sawit Terdiri dari Perkebunan Rakyat : 9,818 Ha, Perkebunan Negara :14,720 Ha, Dan Perkebunan Swasta: 1,074 Ha
16 Papua Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 25.467
17 Riau Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 1.673.250
18 Sulawesi Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 94.319
19 Sulawesi Selatan Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 15.944
20 Sulawesi Tengah Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 46.655
21 Sulawesi Tenggara Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 21.669
Status Lahan: Luas Area Perkebunan Kelapa Sawit Terdiri Dari Perkebunan Negara: 3,602 Ha, Perkebunan Swasta: 18,067 Ha
22 Sumatera Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 344.352
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 170.093 ha, Perkebunan Swasta sebesar 166.423 ha dan Perkebunan Negara Sebesar 7.836 ha.
23 Sumatera Selatan Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 690.729
24 Sumatera Utara Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 1.017.570
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 392.726 ha, Perkebunan Swasta sebesar 352.657 ha dan Perkebunan Negara Sebesar 299.471 ha.

(Dikutip dari http://regionalinvestment.com

Banyak Kebun Sawit Langgar Aturan



BANJARMASIN, KOMPAS.com — Banyak perkebunan sawit di Kalimantan Selatan yang melanggar aturan soal sempadan sungai. Mereka menanam sawit dalam jarak kurang dari 100 meter.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Kalsel Rachmadi Kurdi di Banjarmasin, Senin (10/10/2011), mengatakan, pihaknya meminta tanaman di sepanjang sempadan untuk dimusnahkan bila masih berumur muda.

"Untuk tanaman yang sudah tua dan siap panen diberi toleransi waktu 15 tahun untuk dibersihkan. Tanaman yang sekarang 10 tahun masih ada sisa waktu 5 tahun," ujarnya.

Selain sawit, pelanggaran soal sepadan juga dilakukan perusahaan tambang batubara. Bahkan ada tambang yang berada dekat pantai.
(Dikutip dari Kompas.com)

Unilever Investasi € 550 juta di Indonesia



Den Haag - Unilever akan melanjutkan pertumbuhan pasar yang signifikan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kali ini, consumer goods asal Belanda ini akan membangun pabrik untuk mengembangkan produk personal care, produk kecantikan, juga produk makanan seperti ice cream sebesar € 90 juta. Dan direncanakan total investasinya akan mencapai € 550 juta dalam tiga tahun kedepan.

Chief Supply Chain Officer Unilever ,Pier Luigi Sigismondi, menyatakan bahwa kedepannya Unilever sudah merancang sebuah visi ambisius, untuk dapat menambah kapasitas bisnis, sembari tetap berusaha mengurangi dampak lingkungan, ungkapnya dalam sumber perusahaan. Menurut Pier, pasar negara berkembang saat ini sangat bagus, sehingga memungkinkan bagi Unilever untuk menambah investasi. (Yaniar)
(Dikutip dari http://www.infosawit.com)

GAPKI Keluar dari RSPO



Jakarta – Menjelang Oktober 2011, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) secara resmi mengundurkan diri dari keanggotaan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Dalam Pres Release dijelaskan,pengunduran Gapki dilatarbelakangi oleh kemitmen Gapki dalam mendukung Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai platform berkelanjutan yang bersifat mandatori dari pemerintah indonesia.

Kedepan, Gapki tetap memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada anggotanya untuk tetap menjadi anggota RSPO, namun Gapki juga akan mewajibkan kepada anggotanya untuk mengikuti dan mematuhi ISPO.

Menanggapi pengunduran Gapki dari RSPO, ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis berkelanjutan (FP2SB), Achmad Mangga Barani menuturkan, keputusan yang diambil Gapki bukanlah keputusan yang tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses diskusi dan pertemuan kurang lebih dua tahun bersama Malaysia dalam memperjuangkan kepentingan produsen sawit di RSPO.

“Namun demikian, proses tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari RSPO, karena keputusan diambil atas dasar voting, sementara jumlah anggota RSPO didominasi industri dan konsumen,” ungkap Mangga Barani dalam siaran pers FP2SB awal Oktober 2011. (Ya’cob)
Dikutip dari http://www.infosawit.com)

Investasi Hilir Musimmas Capai US$ 860 Juta



Jakarta - Musim Mas Group bakal menanam investasi untuk sektor hilir kelapa sawit dengan nilai sebanyak US$ 860 juta. Rencananya investasi itu bakal digunakan untuk membangun pabrik di wilayah Sumatera Utara dan Barat, juga di Kalimantan Tengah.

Kata General Manager PT Musim Mas, Suhardi, melakukan investasi di Indonesia saat ini cukup menjanjikan. “Baik dari kebijakannya maupun insentifnya,” paparnya kepada InfoSAWIT. (Yaniar)
(Dikutip dari http://www.infosawit.com)

Siswa SMA di Medan, Dapat Ilmu Kelapa Sawit



Medan - Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bersama PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), menggelar Education Care on Palm Oil pada (29/09). Acara ini ditujukan kepada siswa-siswa SMA di Medan.

Kegiatan ini diharapkan dapat menjembatani para siswa untuk mendapat pengetahuan yang sebenarnya mengenai kelapa sawit. Karena isu negatif mengenai kelapa sawit hingga saat ini belum terbukti, ujar Direktur PPKS, Witjaksana Darmasaskoro kepada Medan Bisnis. Di kesempatan yang sama Balaman Trigan, Ketua Gapki Sumatera Utara, mengatakan kelapa sawit justru sudah terbukti tumbuh subur di Sumatera Utara sejak ratusan tahun yang lalu, bahkan bisa tumbuh lebih subur di sini daripada di negara asalnya. (Yaniar)
(Dikutip dari http://www.infosawit.com)

Volume Ekspor CPO Bakal Turun



Jakarta - Menteri Pertanian, Suswono, menyatakan volume ekspor minyak kelapa sawit akan menurun, akibat dari perlambatan ekonomi global, yang melahirkan kondisi tidak menentu. Pada harga perdagangan Malaysia, harga CPO diposisi RM 2.886/ton atau US$ 912,569/ton, jatuh hingga 25% tahun ini.

Namun, ia melanjutkan, industri hilir beserta industri biofuel dapat sedikit lega. Karena akan dimanfaatkan secara lebih optimal di dalam negri. Dampak dari ekonomi global tersebut dapat menjadi berkah tersembunyi. “Bahkan akan dapat mendorong industri hilir agro” kata dia kepada Reuters. (Yaniar)
(Dikutip dari http://www.infosawit.com)

Friday, October 7, 2011

KELAPA SAWIT

KELAPA SAWIT

Latar Belakang

Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) adalah salah satu jenis tanaman dari famili palma yang menghasilkan minyak nabati yang dapat dimakan (edible oil). Selain dari kelapa sawit, minyak nabati juga dapat diperoleh dari tanaman kelapa, kacang kedelai, bunga matahari, kacang tanah, dan lainnya. Dari sekian banyak tanaman yang menghasilkan minyak dan lemak, kelapa sawit adalah tanaman yang produktifitas menghasilkan minyak tertinggi, dimana tanaman kelapa hanya menghasilkan sepertiga (700-1000 kg/bulan daging buah kelapa/ha) dari produksi kelapa sawit (2000/3000 kg/bulan TBS/ha)


Buah kelapa sawit seberat 45 kg/tandan

Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetik, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keuunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi dalam bidang kosmetik

Kelapa sawit saat ini telah menjadi pionir dalam dunia pertanian di Indonesia, hal itu dikarenakan telah terjadinya peningkatan harga TBS yang luar biasa, yaitu mencapai Rp.1.550/kg TBS. Meskipun kenaikan harga TBS juga turut diikuti oleh kenaikan harga input produksi seperti pupuk, tenaga kerja, pestisida dan alsintan, tetapi secara total peningkatan harga TBS tetap memberikan tambahan pendapatan yang sangat menguntungkan para pekebun.

BIOLOGI TANAMAN KELAPA SAWIT

Tanaman penghasil minyak nabati terdapat 3 jenis, yaitu Elaeis guinensis jacq, Elaeis oleifera atau Elaeis melanocca dan Elaeis odora atau Barcella odora (Corley, 1976). Kelapa sawit yang banyak ditanam di Indonesia adalah berasal dari Afrika.

Beberapa varietas kelapa sawit adalah: Dura, Pisifera, Tenera, Macro carya, dan Dwikka wakka.

Penggolongan varietas berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah menurut Hutgers dan Yampolski:

1. Varietas Macrocarya = type Congo

tebal tempurung 4-8 mm
daging buah 30-50 %
tempurung/buah 20-40 %
inti 10 %


2. Varietas Dura = type Deli
tebal tempurung 2-5 mm
daging buah 50-70 %
tempurung/buah 20-40 %
inti 10 %

3. Varietas Tenera = type Lesobe

tebal tempurung 0,5-2,5 mm
daging buah 70-85 %
tempurung/buah 5-20 %
inti 8-10 %


pohon kelapa sawit tenera

4. Varietas Pisifera

tebal tempurung +- 0 mm
daging buah 85-100 %

tempurung/buah +- 0 %
inti 0-5 %





pohon kelapa sawit varietas pisifera


Penggolongan kelapa sawit berdasakan warna buah menurut Vanderwejn

1. Nigrescens

Buahnya berwana hitam pada saat masih muda dan berubah menjadi orange kehitam-hitaman pada saat buah matang.




Buah sawit Nigrescens

2. Virescens

Buahnya berwana hijau pada saat masih muda dan berubah menjadi orange pada saat buah matang.



Buah sawit Virescens

3. Albescens

Buahnya berwana keputih-putihan pada saat masih muda dan berubah menjadi kekuning-kuningan pada saat buah matang.


EKOLOGI KELAPA SAWIT

Tanaman kelapa sawit dapat hidup dengan baik pada daerah 15"LU-15"LS, yaitu dekat daerah edar garis katulistiwa. Ketinggian lahan yang ideal adalah pada ketinggian 0-500 m dpl. Curah hujan yang sesuai adalah 2.000-2.500 mm/tahun. Suhu optimum adalah 29-30"C. Intensitas penyinaran adalah 5-7 jam/hari. Kelembaban yang ideal adalah 80-90%. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah Podsolik, Latosil, Hidromorfik kelabu, Alluvial atau Regosol. Nilai pH optimum adalah 5-5,5. Perkebunan kelapa sawit baik dibangun pada tanah yang gembur, subur, datar (tidak lebih dari 15", berdrainase yang baik, dengan lapisan solum yang dalam.

Perbanyakan Tanaman

Tanaman kelapa sawit dapat diperbanyak dengan dua cara, yaitu generatif dan vegetatif buatan. Secara generatif, tanaman kelapa sawit diperbanyak dari biji yang terdapat dalam butiran buah sawit, dan secar generatif buatan kelapa sawit diperbanyak dengan cara kultur jaringan.

Produksi Benih

Benih kelapa sawit yang sering digunakan pada perkebunan kelapa sawit adalah hasil persilangan dari varietas Dura Deli (betina) dengan varietas Pisifera (jantan). Hasil persilangan dari varietas Dura dan Pisifera akan menghasilkan anakan yang bervarietas Tenera. Kelapa sawit varietas Tenera menjadi tujuan dari kegiatan persilangan karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu: daging buah lebih tebal, ukuran buah lebih besar, kandungan minyak lebih tinggi, peluang kematangan buah yang sangat tinggi, dan berat buah cukup tinggi.

Untuk kegiatan pembibitan, penyerbukan biasanya dillakukan secara manual, yaitu dilakukan oleh manusia. Serbuk Sari dari bunga jantan (varietas Pisifera) diambil dengan cara memotongnya atau menepuk-nepukkannya pada kantong plastik agar tepung sari terkumpul dalam kantong plastik. Tepung sari (pollen) yang telah didapatkan kemudian dicampur dengan talk murni dengan perbandingan 1:1. Campuran tepung sari dan talk tersebut dimasukkan kedalam baby duster atau alat lainnya yang dapat menghembuskan tepung ke bunga betina. Setelah tepung sari ditaburkan/dihembuskan ke bunga betina (kepala putik) maka bunga betina tersebut ditutup dengan kantong kertas / plastik agar bunga betina tidak terkontaminasi dengan serbuk sari kelapa sawit tidak jelas asal usulnya yang sangat banyak beterbangan di udara. Setelah penyerbukan terjadi maka bunga betina akan matang setelah 6 bulan kemudian.

Perbanyakan kelapa sawit dengan cara penyilangan ternyata memiliki kelemahan yang sangat nyata, yaitu hasil persilangan tidak 100% menjadi bibit yang bervarietas tenera, umumnya tingkat keberhasilannya hanya dapat mencapai 75 %. Bayangkan saja jika ada 1 juta bibit yang di produksi, maka akan ada 250.000 bibit yang bervarietas Dura, Pisifera atau abnormal. Jika biaya tanaman dari benih sampai tanaman di tebang (25 tahun) (menurut perhitungan singkat penulis mencapai Rp.156.000 / tanaman/25 tahun), maka berapa opportunity cost yang terjadi?

Opportunity cost yang terjadi akibat terjadinya penyimpangan varietas yang dihasilkan ternyata belumlah seberapa jika tanaman dalam suatu kebun kelapa sawit bersifat super semua. Jika dilakukan pengamatan di lapangan, maka kita akan selalu mendapati adanya pohon yang bersifat super atau bersifat sangat buruk. Suatu pohon kelapa sawit yang bersifat super dapat memiliki berat tandan mencapai 30-45 Kg/tandan yang memenuhi setiap ketiak pelepahnya, meskipun umur tanaman masih 5-7 tahun. sedangkan untuk tanaman yang berumur lebih dari 10 tahun bobot tandannya dapat mencapai 40-60 Kg/tandan dengan buah yang menjejali setiap celah pelapah yang ada. Kondisi pohon yang demikian tidaklah akibat pemupukan, kondisi tanah dan perawatan yang habis-habisan, karena secara pengamatan visual pohon super tersebut berada di tengah pohon-pohon lainnya yang kondisinya biasa saja ataupun buruk.
Buah sawit 40 kg/tandan

Oleh karena ternyata ada pohon sawit yang bersifat super dalam hal bobot tandan, kuantitas tandan, rendemen minyak, ketahan terhadap hama dan penyakit, ukuran pelepah, kekerasan pelepah, pertambahan tinggi batang, toleransi terhadap jenis tanah, toleransi terhadap drainase yang sangat buruk, toleransi terhadap pH tanah yang tidak sesuai, maka tentu saja akan sangat diharapkan jika seluruh tanaman yang ada dalam suatu kebun adalah sama persis dengan pohon super tersebut. Saat ini mungkin ada cara yang memungkinkan hal tersebut dapat terjadi, yaitu dengan cara dilakukannya perbanyakan secara vegetatif.

Perbanyakan secara vegetatif yang telah berhasil pada tanaman kelapa sawit adalah dengan cara kultur jaringan. Sebagai sel induk dalam kultur jaringan dapat digunakan dari sel akar (metode Inggris) dan sel daun (metode Perancis). Metode kultur jaringan akan mampu menghasilkan bibit tanaman dengan sifat yang sama dengan induknya dengan jumlah yang sangat banyak, hanya saja kelemahannya adalah membutuhkan waktu yang cukup lama dalam hal replikasi sel dan pembesarannya.

Benih kelapa sawit tidak dapat diproduksi dan dipasarkan secara sembarangan, tetapi harus mendapat sertifikasi dari pemerintah untuk menjamin mutu bibit yang diproduksi dan keaslian varietas bibit. Saat ini pihak yang telah mendapat izin resmi dari pemerintah adalah Perkebunan Marihat dan Socfindo.


LAND CLEARING / PERSIAPAN LAHAN

Sebelum tanaman kelapa sawit ditanam, maka hal utama dan sangat menentukan kesuksesahan bisnis budidaya kelapa sawit adalah pada tahap land clearing. Suatu lahan kebun yang baik adalah jika memiliki saluran drainase yang berfungsi dengan baik, memiliki jalan yang kuat dan rata untuk kegiatan melangsir buah ataupun truk pengangkutan, bersih dari tunggul-tunggul kayu yang mengganggu dalam bekerja, bebas dari pohon-pohonan dan semak belukar, adanya akses jalan darat ke setiap tanaman, bebas dari batu-batu besar yang mengganggu posisi penanaman dan pekerjaan.

Pengerjaan land clearing dapat dilakukan secara mekanis dan manual. Secara mekanis land clearing dikerjakan dengan alat-alat berat seperti Back Hoe, Buldozer dan Grader. Secara manual land clearing dikerjakan oleh manusia dengan peralatan sederhana berupa parang, kampak, gergaji, machine saw, cangkul, tembilang, babat.

Jika ditinjau secara ekonomis, penggunaan cara mekanis ataupun manual harus memperhatikan pada beberapa faktor, yaitu:
1.Jauhnya jarak tempuh untuk mendatangkan alat-alat berat
2.Luasnya lahan
3.Tingkat kesulitan pekerjaan
4.Tingkat standar upah buruh lokal
5.Ketersediaan buruh
6.Biaya sewa/harga beli alat berat
7.Kebijakan dan peratruran pemerintah
8.Harga BBM dan oli mesin traktor
9.Tingkat upah operator traktor
10.Produktifitas kerja traktor
11.Produktifitas tenaga kerja manusia


COVER CROP / TANAMAN PENUTUP

Sebelum bibit kelapa sawit ditanam di lahan, satu hal yang sangat penting ada adalah tanaman penutup / cover srop, cover crop berfungsi untuk melindungi tanah dari kikisan air hujan, menjaga tumbuhnya gulma-gulma yang tidak diinginkan, menjaga ketersediaan unsur Nitrogen dalam tanah, mendinginkan tanah, sebagai tempat yang baik untuk berbiaknya mikroba-mikroba pengurai dan penyubur tanah


BUDIDAYA TANAMAN KELAPA SAWIT


A. PEMBIBITAN

Pembibitan sebaiknya dilaksanakn di dekat daerah penanaman, agar proses transport bibit ke lubang tanam dapat diminimalkan sehingga kerusakan bibit juga semakin sedikit. Bibit yang digunakan adalah berupa kecambah. Bibit kelapa sawit yang digunakan sebaiknya berasal dari produsen benih yang telah terpercaya kualitas tanamannya, contohnya bibit dari Marihat, Socfindo, Supergene (Malaysia), dan bibit dari Australia.

Lahan untuk lokasi pembibitan adalah 10% dari luas lahan yang akan ditanami oleh bibit tersebut. Lahan tersebut dipersiapkan bersamaan dengan proses land clearing keseluruhan.

Kecambah ditanam di polibag ukuran 1 liter, pada umur umur 3bulan dipindahkan ke polibag 3 liter, pada umur 6 bulan dipindahkan ke polibag 9 liter. Bibit dapat dipingahkan ke lapangan saat berumur 9-12 bulan.


B. PENGAJIRAN

Pengajiran dapat dilakukan dengan menggunakan tiang pancang sepanjang 1,5m yang ditancapkan di titik yang telah detentukan untuk ditanami kelapa sawit. Jarak tanam yang digunakan antara lain 8,5mx9m, 9mx9m, 10mx10m, ata 11mx11m. Sudut antara satu baris dengan baris lainnya adalah 60 derajat, agar dapat dicapai efisiensi lahan yang maksimal


C. TERASERING

Terasering adalah pembuatan dataran/teras untuk lahan yang bertopografi miring. Terasering dapat dilakukan dengan cangkul ata menggunakan traktor.


D. PENANAMAN COVER CROP

Penanaman cover crop sangat penting untk menekan pertumbuhan gulma dan dapat meningkatkan bahan organik serta gas nitrogen dalam tanah. Tanaman cover crop yang sering digunakan antara lain pueraria javanica, centrosema pubescens


E. PENANAMAN TANAMAN KELAPA SAWIT

Tanaman kelapa sawit dapat ditanam setelah dilakukan pembuatan lubang danam dengan ukuran 90x90x90cm.


F. PENANGANAN GULMA

Gulma dapat ditangani dengan melakukan pembabatan dengan babat tangan ataupun mesin babat, dengan menggunakan herbisida, atapun menggunakan predator alami seperti kambing, kerbau, sapi, dan rusa.
Jenis-jenis gulma antara lain sebagai berikut:Gulma pakis raja


Gulma rumput bendera


Gulma pohon


Gulma pohon di batang kelapa sawit


Gulma berbatang alot



PEMUPUKAN

Tanaman kelapa sawit seringkali merupakan tanaman yang sangat tergantung pada pemupukan untuk mencapai produksi yang tinggi, meskipun dapat ditemui kebun kelapa sawit yang dapat mencapai produksi rata-rata 3 ton/ha/bulan meskipun tanpa diberi pupuk sedikitpun. Secara logika, kebunkelapa sawit yang baik diharapkan dapat berproduksi TBS sebanyak 3-5 ton/bulan, dengan rendemen minyak mencapai 21%, maka produksi CPO adalah 6,3-10,5 ton/bulan, nilai kalori lemak adalah yang paling tinggi di antara zat gizi lainnya, yaitu 9,4 kalori/mg asam lemak, maka nilai energi yang dihasilkan dari satu hektar kebun sawit adalah luar biasa besarnya. Energi tersebut dapat digunakan sebagai zat gizi, bahan bakar, atau fungsi lainnya. Maka tidaklah wajar jika hasil produksi yang sedemikian besar tersebut hanya kita harapkan dari sang tanaman kelapa sawit dan tanah yang menyangganya tanpa ada sumbangsih dari kita yang menjadikannya sebagai "sapi perah".

Tujuan umum dari pemupukan adalah memberikan zat hara yang dibutuhkan tanaman dalam membangun jaringan akar, batang, daun dan buah.

Pada saat kelapa sawit berupa TBM (Tanaman Belum Menghasilkan), tujuan pemupukan ada untuk menjadi bahan baku dan penolong dalam pembangunan tubuh tanaman, sedangkan pada saat kelapa sawit berupa TM (Tanaman Menghasilkan), tujuan pemupukan adalah agar tanaman kelapa sawit memproduksi buah dengan optimal.

Berdasarkan banyaknya kuantitas yang dibutuhkan tanaman, pupuk dapat dibagi atas 2 golongan, yaitu: pupuk makro dan pupuk mikro.

Pupuk makro adalah pupuk yang mengandung unsur makro (unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar). Unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar antara lain adalah :

Nitrogen (N), dapat diperoleh dari pupuk Urea (46% N), ZA ( %N)
Posphor (P), dapat diperoleh dari pupuk TSP (46% P), Rock Posphat ( % P)
Kalium (K), dapat diperoleh dari pupuk KCl (64% K)
Magnesium (Mg), dapat deperoleh dari pupuk Kieserit ( % Mg)


PANEN

Untuk dapat berbunga, kelapa sawit membutuhkan waktu 2-3 tahun dari saat bibit ditanam di lapangan. Masa produktif tanaman dapat berlangsung 40-50 tahun. Pembentukan buah memerlukan waktu sekitar 6 bulan setelah terjadinya penyerbukan (pollination). Pelaksanaan panen buah kelapa sawit tidak boleh dilakukan secara sembarangan, karena kegiatan panen tersebut menentukan pada produktifitas tanaman, rendemen minyak, mutu minyak, dan efisiensi biaya tenaga kerja. Pelaksanaan panen harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Kriteria Matang Panen

Buah yang dapat dipanen haruslah buah yang daging buahnya telah berwarna kemerah-merahan/orange, dimana ada jenis buah yang meskipun kulit luarnya telah berwana kemerah-merahan tetapi ternyata daging buahnya belum matang (belum berwarna kemerah-merahan). Adapun kriteria umum yang digunakan dalam menentukan buah sawit yang layak panen adalah berdasakan pada jumlah berodolan yang telah jatuh di piringan. Kriteria jumlah berondolan dalam menentukan buah layak panen dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel Kriteria Kematangan Buah Berdasarkan Jumlah Berondolan























No


Umur Tanaman (tahun)


Buah Memberondol (butir)


1


Tanaman muda (3,5-5 tahun)


2


2


Tanaman sedang (5-10 tahun)


5-10


3


Tanaman dewasa (>10 tahun)


15-20


2. Rotasi dan Sistem Panen

Yang dimaksud dengan rotasi panen adalah waktu yang diperlukan antara suatu panen dengan panen berikutnya pada suatu area panen. Rotasi panen yang baik adalah jika buah yang dipanen tidak kurang atau terlalu matang. Rotasi panen yang sering dilakukan adalah tiap 7, 10 atau 14 hari sekali.

3. Cara Pengambilan Buah

Cara pelaksanaan panen yang baik adalah salah satu syarat dalam menentukan produktifitas dan efisiensi dari suatu usaha kebun kelapa sawit. Ada suatu sistem dalam hal menjaga jumlah optimum daun pada pohon kelapa sawit, dan rumus dari jumlah daun optimum tersebut sering disebut dengan sistem "Songgo Dua", yaitu selalu ada dua unit pelepah daun yang menyangga buah sawit pada posisi yang paling bawah. Oleh karena itu maka dalam mengambil buah tidak boleh ikut memotong pelepah yang menyangganya, cara pengambilan buah tersebut sering disebut dengan cara "curi buah/culik buah".
Alat yang baik digunakan dalam memanen buah sawit adalah Dodos (untuk buah yang berada pada ketinggian <5>


HAL-HAL TERPENTING DALAM BERBISNIS KEBUN KELAPA SAWIT SKALA KECIL (4-40 Ha)


1. Angkat penjaga kebun dengan memenuhi syarat mutlak, yaitu jujur, rajin, mau diatur, konsentrasinya tidak terpecah selain dari bekerja di kebun.
2. Buat dan beri sistem penggajian yang menarik dan memotifasi untuk bekerja dengan tekun dan giat, misalnya adanya bonus atas tercapai/terlampauinya target produksi.
3. Upayakan agar dapat memelihara kambing di kebun tersebut, karena dapat membantu mengendalikan rumput dan menjaga gairah hidup penjaga kebun, karena kambing dapat juga berfungsi sebagai teman jika bekerja dalam kesunyian kebun. Setiap hari raya penjaga kebun tersebut mendapat setengah bagian dari anak kambing yang lahir sebagai penarik agar tetap serius mengurus kambing tersebut.


DEFINISI

Dodos

: Dodos adalah alat memotong tandan buah kelapa sawit yang posisi buahnya kurang dari 5m



Egrek

: Egrek adalah alat pemotong tangkai tandan sawit yang posisi buahnya lebih tinggi dari 5m



Pasar Pikul

: Pasar pikul adalah jalan diantara pohon kelapa sawit dimana para pemanen melewatinya saat pane. Pada pasar pikul ini tidak ada penghalang apapun untuk dijalani, seperti pelepah sawit, batu, lubang, rumput yang tinggi, dan lain sebagainya.

Culik buah/Curi Buah

: Culik buah adalah kegiatan memanen buah sawit tanpa memotong pelepahnya, sehingga jumlah pelepah pohon sawit tidak berkurang dari jumlah yang optimal

TBS

: TBS adalah singkatan dari tandan buah segar, yaitu buah sawit yang telah matang dan telah dipotong dari pohonnya.

CPO

: CPO adalah singkatan dari Crde Palm Oil, yang berarti minyak sawit mentah. Yaitu hasil pemerasan dari TBS yang dilakukan di pabrik kelapa sawit. CPO ini belum diperuntukkan untuk dikonsumsi karena masih mengandung ampas dari buah sawit, air, tanah, pasir, dan lainnya sehingga masih perl melewati proses pemurnian.

PKO

: PKO adalah singkatan dari Palm Kernel Oil, yaitu minyak yang diperoleh dari pemerasan inti yang terdapat pada biji kelapa sawit. Inti kelapa sawit memilik bentuk dan rasa seperti daging buah kelapa, tetapi dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi.

PKS

: PKS adalah singkatan dari Pabrik Kelapa Sawit, dimana TBS diolah agar menjadi CPO.



Penulis adalah praktisi dan pengamat perkelapasawitan Indonesia