Monday, October 10, 2011
PENGARUH BK TERHADAP PETANI KELAPA SAWIT
Dua asosiasi petani kelapa sawit berbeda pendapat soal pengenaan Bea Keluar (BK) bagi petani kelapa sawit. Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia)) yang proses pembentukannya difasilitasi pemerintah menyatakan BK merugikan petani, sedang SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) yang proses pembentukannya difasilitasi LSM Sawit Watch menyatakan, BK tidak mempengaruhi petani.
Anizar Simanjuntak, Ketua Umum Apkasindo minta BK yang dikenakan secara progresif, yang saat ini sudah mencapai 25% perlu ditinjau kembali. BK berdampak langsung terhadap harga penjualan tandan buah segar petani. Setiap pengenaan BK 1% menurunkan harga TBSg Rp19/kg. Pengurangan BK diyakini akan meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan BK 25% saat ini terjadi pengurangan harga TBS sampai Rp475/kg.
BK juga perlu dikembalikan pada petani minimal 25%l untuk membangun infrastruktur terutama jalan karena selama ini jalan untuk mengakut TBS ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit) banyak yang rusak. “Sekarang terjadi ketidakadilan. Pemerintah mengambil banyak sekali dana dari kelapa sawit dengan BK. Tetapi infrastruktur di sentra-sentra perkebunan sawit rusak, terutama jalan. Jalan-jalan ini sebagian besar jalan kabupaten. Kabupaten tidak punya dana untuk memperbaiki sehingga dana BK perlu dikembalikan pada daerah”katanya.
Secara terpisah, Mansietus Darto, Ketua Umum i SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) menyatakan, penerapan BK 25% tidak akan mempengaruhi petani kelapa sawit karena petani kelapa sawit indonesia dalam kenyataannya bukan sebagai pelaku utama atau sebagai subyek dalam penjualan Crude Palm Oil. Petani kelapa sawit hanya sebagai penghasil bahan baku yakni TBS , yang kerjanya juga hanya sampai pada level pabrik.
Jika pun di anggap pajak eksport CPO tersebut dianggap merugikan petani kelapa sawit adalah akibat dari tingkah laku pengusaha perkebunan yang tidak mau rugi dengan membeli TBS dengan kenaikan berkisar Rp100 hingga Rp200. Faktor yang lain yang anggap tidak merugikan petani adalah pembelian TBS milik petani menggunakan standar harga CPO (Harga TBS : K (Harga cpo x Rendemen Cpo) + (Harga inti sawit x Rendemen inti sawit). Sehingga petani tetap memperoleh harga yang sesuai.
Dampak dari pajak progresif tersebut justru membuat rugi pihak pengusaha kelapa sawit di indonesia karena besarnya potongan yang diambil pemerintah. Pengusaha kebun tidak mendapatkan keuntungan untuk ekspansi industrinya dari kenaikan harga CPO. Petani kelapa sawit bukan menjadi salah satu pihak yang dirugikan dalam penerapan pajak progresif namun menjadi pihak yang dirugikan oleh tingkah laku pengusaha perkebunan dalam pembelian harga TBS. Selain itu juga, walaupun pajak eksport tersebut di hapus sesuai permintaan asosiasi pengusaha juga tidak memberi efek bagi kenaikan harga TBS milik petani.
“Kami sangat mendukung upaya yang dilakukan pemerintah asalkan saja pajak ekspor yang masuk ke kas Negara tersebut dipergunakan untuk kemudian memberdayakan petani kelapa sawit dalam, Peremajaan kebun kelapa sawit, peningkatan produksi tandan buah segar, Optimalisasi pengadaan pupuk murah dan sesuai kebutuhan dan distribusi langsung ke kebun petani,penguatan kapasitas petani kelapa sawit, perbaikan infrastruktur kebun, dan pembangunan pembibitan kelapa sawit yang berkualitas dan berharga murah,”katanya.
Selama ini petani kelapa sawit adalah pihak yang selalu di rugikan oleh penguasaha perkebunan kelapa sawit dalam memperoleh harga yang layak. Setiapkali harga CPO naik, ada saja potongan di tingkat pabrik yang tiba-tiba tinggi, seperti misalnya sortasi atau grading TBS milik petani sampai 10 % atau bahkan operasioanal tingkat pabrik dibuat tinggi untuk memperoleh indek K yang rendah yang dapat mempengaruhi rendahnya pembelian TBS milik petani.
Selain itu juga, penting pemerintah membangun industri hilir di Indonesia untuk memperkuat industri nasional. Selama ini Indonesia selalu menjual bahan baku dan selalu tunduk pada negara-negara yang memiliki teknologi tinggi pengolah CPO. “Selama ini, walaupun kita adalah Negara produksen CPO dengan luas lahan kebun sawit tahun 2010 seluas 9,2 juta ha (data SPKS), Indonesia tidak memiliki posisi tawar dan selalu tunduk pada pasar negara konsumen,,”katanya. (Sn)
(dikutip dari www.sawitwatch.or.id)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment