Monday, October 10, 2011

Sinar Mas: perang dagang gerus prospek sawit



Pontianak (ANTARA News) - Pemimpin Sinar Mas Grup Wilayah Kalimantan Barat Susanto menegaskan, adanya perang dagang secara perlahan menggerus prospek pengembangan kelapa sawit di Indonesia.

"Saat ini banyak isu-isu yang disebarkan sengaja untuk menekan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, karena itu masyarakat kita jangan mudah terpancing isu-isu yang belum tentu kebenarannya," kata Susanto saat dihubungi dari Pontianak, Rabu.

Ia menjelaskan, ancaman perang dagang yan berawal dari isu tak benar tentang sawit itu sebenarnya pernah dialami komoditas lain, yakni gula. Dahulu Indonesia salah satu produsen gula terbesar di dunia, tetapi sekarang malah negara pengimpor gula akibat kalah perang dagang.

"Apakah hal itu mau terulang pada pengembangan kelapa sawit yang kini posisi Indonesia sebagai pengekspor `crude palm oil` (CPO, minyak kelapa sawit) terbesar di dunia, karena kalah perang dagang," kata CEO Perkebunan Kelapa Sawit Sinar Mas Wilayah Kalbar Susanto.

Data dari "Oilworld", Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar sejak tahun 2006, dan mengalahkan Malaysia yang dulu menguasai industri sawit dunia. Tahun 2005 produksi minyak sawit Indonesia masih 14 juta ton/tahun, di bawah Malaysia yang saat itu 15 juta ton/tahun.

Di tahun 2006 produksi minyak sawit Indonesia meningkat menjadi 16,5 juta ton/tahun, sementara produksi minyak sawit Malaysia di bawahnya. Kemudian tahun 2008 produksi Malaysia sebesar 18,5 juta, Indonesia tembus 20 juta ton dan tahun 2009 produksi minyak sawit Indonesia meningkat lagi menjadi 21 juta ton, Malaysia malah menurun.

Menurut Susanto, ancaman perang dagang sudah dimulai. Ia mengutip hasil analisis konsultan sawit terkemuka dari Inggris James Fry, yang meramalkan 2030 daya saing minyak sawit jauh menurun dibandingkan minyak nabati lainnya akibat biaya produksi membengkak.

Menurut James, awal tahun 2000 biaya produksi minyak sawit paling rendah dibandingkan dengan biaya produksi minyak kedelai, "rapeseed" dan minyak bunga matahari yang diproduksi negara-negara di Eropa dan AS. Biaya produksi minyak sawit sekitar 220 dolar AS/ton, setengahnya dari biaya produksi minyak nabati lainnya sekitar 440 dolar AS/ton.

James memprediksikan keadaan lebih parah tahun 2030, karena biaya produksi minyak sawit Indonesia akan melonjak mendekati angka 350 dolar AS/ton, sedangkan biaya produksi minyak nabati lain terus menurun hingga di bawah biaya produksi minyak sawit Indonesia.

Peningkatan biaya produksi minyak sawit Indonesia, menurut James yang dikutip Susanto, disebabkan banyak faktor, di antaranya beragam isu negatif yang dihembuskan tentang sawit, mulai dari minyak sawit yang mengganggu kesehatan hingga isu lingkungan efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.

"Tapi, sesungguhnya isu negatif itu hanyalah trik `perang dagang` dari negara produsen minyak nabati lainnya, yang sadar tidak mampu menyaingi Indonesia dalam produksi minyak kelapa sawit," katanya.

Karena itu, kata Susanto, analisis James hendaknya diantisipasi dan ditanggapi serius oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, agar pengembangan minyak sawit tidak terhalang faktor isu negatif tersebut.

Susanto optimistis dengan masih luasnya sumber daya alam berupa lahan dan sumber daya manusia seperti di Provinsi Kalbar, produksi minyak sawit bisa terus ditingkatkan.

"Tetapi peluang itu akan hilang kalau masyarakat tidak sama persepsinya tentang sawit. Masyarakat perlu memberikan pandangan positif terhadap pengembangan kelapa sawit," katanya.

Ia menungkapkan, pengembangan perkebunan sawit telah ikut berperan dalam pengentasan warga dari kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar. Karena dari setiap 100 hektare kebun kelapa sawit memerlukan sedikitnya 55 tenaga kerja sarjana, terdiri atas pekerja langsung 25 orang dan tidak langsung 30 orang.

Perkebunan kelapa sawit juga punya misi mengentaskan kemiskinan dengan menjadikan buruh tani sebagai pemilik dengan penghasilan Rp30 juta/hektare/tahun, atau meningkat jauh dibanding penghasilan petani padi ladang Rp10 juta/hektare/tahun, berdasarkan data BPS tahun 2009.

Sejak tahun 2010 Sinar Mas Grup, dalam pengembangan sawit agar berdampak positif ke masyarakat, menggandeng Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak dan perguruan tinggi lainnya di Indonesia sebagai tim independen untuk meneliti dan menilai terkait banyaknya isu-isu seputar pengembangan sawit di Kalbar.

Ia mengatakan, Sinar Mas dalam perkembangannya, selain membuka akses wilayah terpencil dengan membangun infrastruktur jalan, juga turut meningkatkan kualitas pendidikan putra daerah, dengan memberi beasiswa kepada 200 siswa yang baru lulus pendidikan SMA ke Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian sejak tahun 2009.

"Beasiswa ini terbuka untuk putra Kalbar setiap tahunnya," kata Susanto.
(U.A057/Z004)

Editor: Ruslan Burhani

COPYRIGHT © 2011
(dikutip dari www.antaranews.com)

No comments:

Post a Comment