How long can you go, pekebun mandiri?
Pendahuluan
Keadilan, kedaulatan, keberlanjutan, kemandirian, dan lain-lainnya adalah kata yang sering kita dengar dan diungkapkan oleh politisi sampai aktivis. Kata-kata tersebut indah dan menyenangkan sehingga kesadaran kita dininabobokan. Hampir semua politisi sampai aktivis sering menggunakan kata-kata tersebut. Semua orang bersepakat dan tidak mendebat kata-kata tersebut. Pertanyaannya, bagaimana mengimplentasikannya kata-kata tersebut. Disinilah berbagai pihak akan berdebat.
Salah satu kata yang ingin penulis elaborasi disini adalah persoalan kemandirian. Bung Karno sendiri mengungkapkan persoalan kemandirian dengan kata berdikari, atau berdiri di kaki sendiri, dalam pidatonya ‘Tjapailah bintang-bingtang dilangit!’ bertema TAKARI—tahun berdikari tanggal 17 Agustus 1965, Bung Karno mempertegas tentang demokrasi ekonomi di Indonesia.
Berhubungan dengan perkebunan kelapa sawit, adalah penting, bagaimana kemandirian di perkebunan kelapa sawit. Apakah perkebunan yang dibangun saat ini sudah menumbuhkembangkan kemandirian. Siapa yang ingin dimandirikan, Apakah pekebun mandiri? Atau siapa? Bagaimana skenario-skenario agar lahir pekebun-pekebun mandiri. Tulisan ini berkeinginan mendiskusikan hal-hal ini.
Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit
Dalam sejarah perkebunan di Indonesia, perkebunan rakyat kelapa sawit baru muncul belakangan dibanding perkebunan rakyat komoditas lain seperti karet, lada, dan kopi. Pada awalnya kelapa sawit hanya diusahakan oleh perkebunan besar baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun oleh perusahaan swasta (Soetrisno: 1991). Salah satu sebabnya yang paling penting adalah bahwa membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan modal uang dan teknologi yang sangat mahal. Teknologi processing minyak sawit masih merupakan teknologi yang hanya bisa dibeli dan dikuasai oleh perkebunan besar. Namun seiring dengan perkembangan waktu, rakyat di sekitar lingkungan perkebunan besar mulai dapat belajar menanam kelapa sawit kemudian hasilnya dijual kepada perusahaan besar.
Jika pada awalnya jenis perkebunan besar dan perkebunan rakyat kelapa sawit berjalan sendiri-sendiri secara terpisah. Dalam perkembangan selanjutnya terutama sejak tahun akhir tahun 1970-an, hubungan antara keduanya mulai mengalami interaksi yang intensif. Hal ini antara lain didorong oleh program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau Nucleus Estate And Smallholder Development Project (NES) dikembangkan pemerintah pada akhir tahun 1980-an. Bahkan dengan serangkaian program PIR BUN, KKPA dengan bantuan modal asing, maka muncul percepatan pembukaan areal-areal baru, termasuk yang dikaitkan dengan program transmigrasi oleh pemerintah. Secara definitif kemudian istilah perkebunan rakyat mengacu kepada kedua jenis pekebun tersebut, baik yang berasal dari inisiatif rakyat sendiri maupun dari hasil program yang dikembangkan pemerintah.
Dalam perhitungan luas areal kebun sawit, maka luas areal pada ketiga kategori perkebunan (perkebunan rakyat, perkebunan swasta, dan perkebunan nasional) tersebut selama 25 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dari segi persentase, perkembangan paling tinggi justru pada perkebunan rakyat. Jika pada tahun 1980 luas areal perkebunan rakyat baru 6 ribu hektar, maka pada tahun 2000 menjadi 1.167 ribu hektar, dan meningkat lagi di tahun 2005 menjadi 1.917 ribu hektar. Jika di tahun 1980 luas areal perkebunan rakyat hanya mencakup 2,1% dari total areal kelapa sawit nasional, maka pada tahun 2005 menjadi 34,3%.
Sebenarnya model kategori perkebunan di Indonesia bilamana dilihat lebih mendalam terbagi menjadi dua kategori yakni pertama, perkebunan besar yang dimiliki oleh perkebunan nasional dan perkebunan swasta dan kedua, perkebunan kecil yang dimiliki oleh rakyat. Bila kita tengok sejarah, perkebunan-perkebunan nasional adalah hasil nasionalisasi dari perkebunan-perkebunan swasta asing di waktu Pemerintahan Soekarno. Untuk lebih ‘menggampangkan’ maka pembagian kategori perkebunan dilakukan menjadi tiga bukan dua yakni perkebunan nasional, perkebunan swasta, dan perkebunan rakyat.
Tabel 1. Luas Areal Kelapa Sawit antara Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta, 1980 – 2009 (ribu hektar)
Jika melihat perkembangan luas areal perkebunan rakyat sebagaimana tergambar dalam tabel 1, maka akan timbul kesan bahwa perkebunan rakyat mengalami percepatan yang lebih tinggi ketimbang jenis perkebunan lain. Rata-rata perkembangan luas areal untuk perkebunan rakyat mencapai 27,1% atau di atas rata-rata pertumbuhan areal nasional sebesar 12,9%, sedangkan perkebunan swasta dan nasional masing-masing hanya sebesar 15,6% dan 5,2%. Namun kalau dilihat dari sifat perkebunan rakyat sebagaimana ciri awal (gagasan awal perkebunan rakyat senantiasa dikaitkan dengan kontrol rakyat terhadap aset-asetnya, teknik budidaya dan pengembangannya, kelembagaannya, serta kejelian rakyat dalam melihat pasar) yakni “kebebasan dan otonomi” mereka menanam atas inisiatif sendiri, maka peningkatan besaran 27,1% pertahun atau luasan 1,9 juta hektar pada tahun 2005, memunculkan pertanyaan berapa persenkah yang masih tetap memiliki ciri-ciri awal perkebunan rakyat. Mempersoalkan hal ini sangat penting mengingat inisiatif program pengembangan PIR sebenarnya merupakan program yang didorong dari “luar” pelaku perkebunan rakyat itu sendiri, meskipun dalam inisiasi programnya bertujuan untuk meningkatkan peranan perkebunan rakyat sebagai soko guru perekonomian nasional.
Pekebun Mandiri
Merujuk berbagai dokumen resmi, maka istilah pekebun mandiri dapat segera bisa dikenali dengan menyebutnya sebagai bagian perkebunan rakyat yang tidak memiliki keterkaitan dengan perusahaan. Kelompok ini berbeda dengan perkebunan besar swasta ataupun perkebunan besar nasional. Berbeda pula dengan petani plasma, dimana biasanya dikaitkan dengan perusahaan negara (BUMN), dan swasta nasional ataupun asing. Yang membedakan diantara ketiganya antara lain adalah dari segi skala usaha, dimana pekebun mandiri pada umumnya dimiliki oleh individu-individu dengan luas lahan sempit, sedangkan perkebunan swasta atau nasional diusahakan dalam skala usaha yang besar.
Sumber: Vermeulen, 2006
Ada lima kelompok yang menjadi stakeholder di tingkat desa bisa disebutkan sebagi berikut (Vermeulen, 2006) yaitu:
Masyarakat yang terpengaruh yaitu orang atau sekelompok orang yang mendapatkan dampak dari aktifitas di sektor sawit, baik penduduk asli maupun pendatang.
Para pemilik tanah. Di sejumlah desa seluruh penduduk yang terlibat dalam perkebunan sawit memiliki tanah baik yang diakui oleh Negara maupun yang secara turun temurun diakui oleh komunitas desa. Didesa yang lain terdapat juga sejumlah warga yang tidak memiliki lahan.
Penyedia Jasa dan Pekerja. Mereka bekerja mendapatkan upah dari sektor kelapa sawit, baik perkebunan swasta, perkebunan Negara, maupun bekerja pada pekebun lahan sempit.
Pekebun kecil yang disupport. Mereka adalah para pekebun yang menanam tanaman kelapa sawit dengan mendapatkan bantuan dari pemerintah maupun perusahaan swasta. Bantuan diberikan berupa pinjaman (bisa bersubsidi) untuk membeli bibit, pupuk dan pestisida maupun dalam bentuk bantuan teknis, disamping adanya jaminan kepastian harga.
Pekebun Mandiri. Mereka adalah para pekebun yang memelihara kelapa sawit tanpa bantuan langsung dari pemerintah maupun perusahaan swasta. Para pekebun ini menjual hasil tanamannya pada pabrik pabrik setempat maupun lewat penyedia jasa.
Dari gambar 2 bisa dilihat ada tiga kategori keterkaitan pekebun dengan komunitas lokal yaitu (a) para pekebun (kecil) yang independent, (b) Pola dukungan bagi pekebun sempit, dan (c) Pola pemilik tanah kolektif. Mengingat sifat tanaman kelapa sawit.
Sumber: Vermeulin, 2006
Gambar 3. Model Kontinum dalam kemandirian di petani (perlu didiskusikan lebih lanjut)
Sumber: Surambo, 2009
Dilihat dari ciri-ciri kemandirian dan otonomi, maka fenomena pekebun mandiri secara teoritis dapat adalah suatu kontinum. Pada satu titik ekstrim dapat disebut perkebunan rakyat hasil pengembangan perkebunan PIR sebagai titik kontinum yang rendah dari sisi kemandirian dan otonomi. Pada ekstrim lain dapat ditunjukkan perkebunan rakyat yang “murni” memiliki ciri-ciri kemandirian dan otonomi yang lebih luas. Contoh dari pola terakhir ini adalah tembawang dan dahas di provinsi Kalimantan Barat, Sonor di provinsi Sumatera Selatan, serta kebun-kebun rakyat lainnya. Sumber: Surambo, 2009.
Hal ini sangat berbeda dengan petani sawit swadaya. Petani sawit swadaya adalah petani sawit yang tidak terlibat dalam berbagai skema kemitraan yang diperkenalkan oleh pemerintah. Petani sawit swadaya adalah vis a vis dari petani sawit kemitraan. Pekebun mandiri melintas dari petani sawit kemitraan, petani sawit swadaya, sampai pekebun tembawang, dan lain sebagainya. Hal yang penting dilihat dalam pekebun mandiri adalah persoalan kemandirian dan otonomi yang terbagi ke dalam:
persoalan kontrol rakyat terhadap aset-asetnya,
teknik budidaya dan pengembangannya,
kelembagaannya,
serta kejelian rakyat dalam melihat pasar
bila kita coba detailkan berkenaan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para petani kelapa sawit maka dapat dilihat dalam Gambar 4.
Gambar 4. Pohon Masalah Petani Kelapa Sawit
Skenario Menuju Pekebun Mandiri
Konsep dan strategi yang dapat dijalankan dalam mengembangkan kebun-kebun mandiri harus didasarkan pada visi-misi yang bersifat normatif-ideologis (konstitusional), dan kondisi ekonomi rakyat pekebun sawit secara empirik (positif). Oleh karena itu, pemahaman terhadap visi-misi konstitusi dalam pengelolaan ekonomi nasional menjadi sangat penting. Selain berlatar belakang ketentuan historis, visi-misi konstitusi ini sangat bernilai dalam memberi arah bagi perkembangan perekonomian, termasuk di dalamnya ekonomi perkebunan (sawit) di masa depan.
Pencitaan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi realitas empiris di mana struktur dan sistem ekonominya yang merupakan warisan kolonialisme 3,5 abad. Dominasi bangsa penjajah (Eropa) yang ditopang kelas perantara terhadap massa rakyat pribumi, mendorong pendiri bangsa untuk memimpikan sebuah transformasi struktural. Baik Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka menjadikan tranformasi ini sebagai wujud kemerdekaan sejati, yang tidak hanya berdimensi politik, melainkan juga ekonomi.
Cita-cita inilah yang menjiwai lahirnya Pasal 33 UUD 1945, sebagai landasan pengelolaan ekonomi Indonesia di masa depan, berdasarkan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan). Dalam demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Konsepsi inilah yang sejalan dengan visi transformasi struktur ekonomi di mana tidak akan ada lagi segelintir elit (asing) yang menguasai mayoritas asset (omset) ekonomi nasional. Mengingat ungkapan Hatta (1960):
“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia”
Untuk hal itu, arah bagi pengembangan perkebunan rakyat (pekebun mandiri) sawit adalah restrukturisasi perkebunan sawit seperti digambarkan secara sederhana dalam Gambar 5:
Arah yang dituju adalah struktur perkebunan sawit di mana mayoritas pekebun mandiri dapat menikmati hasil proporsional sesuai dengan partisipasinya yang makin besar dalam proses produksi. Kondisi ini terjadi ketika pekebun mandiri makin dapat meningkatkan penguasaannya terhadap faktor produksi baik material (tanah, modal, dan teknologi), intetelektual (skill, pendidikan), dan institusional (organisasi/koperasi). Penguasaan aset produktif –utamanya tanah (lahan) ini akan menjadi faktor penting dalam usaha peningkatan proporsi hasil produksi yang dinikmati pekebun mandiri. Hal ini tidak seperti dalam struktur feodal-kapitalistik yang menempatkan segelintir elit pemilik tanah dan pemodal besar sebagai penikmat terbesar dari hasil produksi perkebunan.
Struktur ekonomi perkebunan idealnya proporsional sesuai dengan tingkat partisipasi (peranan) pekebun mandiri yang makin diperbesar. Pekebun mandiri diusahakan dapat menggantikan peran perusahaan swasta besar dan dapat bermitra sejajar dengan BUMN. Dengan begitu barulah struktur ekonomi kerakyatan dapat ditegakkan seperti halnya cita-cita Hatta yang sudah terpatri sejak 77 tahun yang lalu:
“Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong—pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya” (Hatta, 1932).
Struktur ekonomi merupakan bangunan hasil interaksi (relasi) antarpelaku ekonomi perkebunan yang terpola dalam sebuah sistem ekonomi perkebunan. Pada umumnya pihak yang kuat (berkuasa) akan berada di posisi determinan, dengan pihak yang lemah sebagai sub-ordinannya. Mereka lah yang pada akhirnya menikmati proporsi besar dalam pembagian hasil produksi perkebunan. Kekuasaan ini diperoleh melalui kepemilikan tanah (lahan), modal, keahlian, teknologi, dan bermacam alat produksi yang digunakan dalam produksi perkebunan sawit.
Dalam sistem feodal-kapitalistik maka kekuasaan tersebut terpusat di segelintir elit pemilik perusahaan perkebunan swasta besar. Massa pekebun mandiri terbiarkan dalam posisi yang sangat lemah dan rentan, di mana perlahan ketergantungan terhadap budidaya monokultur kelapa sawit menjadi makin besar. Oleh karenaya mereka berada pada posisi sub-ordinan perusahaan swasta (PT) dengan pola relasi yang timpang. Pada akhirnya bagian yang mereka terima dari hasil keterlibatan dalam sistem perkebunan ini sangat kecil dan jauh daripada yang dapat dinikmati oleh pemilik perusahaan.
Sungguh pun telah berbagai pola perkebunan sawit, karet, tebu, dan komoditi lain yang diterapkan, namun pada dasarnya masih tetap berpijak pada sistem besar yang sama. Sistem perkebunan sawit yang dikembangkan masih sekedar sub-sistem dari sistem kapitalisme global, yang dalam konteks Indonesia bercampur dengan sistem feodalisme yang belum sepenuhnya ditinggalkan. Oleh karenanya, bangun ekonomi kerakyatan kiranya baru akan kukuh apabila tersusun agenda yang solid untuk melakukan revolusi sistemik perkebunan seperti halnya yang tergambar dalam diagram di bawah ini:
Pola perkebunan sawit yang umum berlaku sekarang masih memposisikan pekebun mandiri dalam situasi ketergantungan yang sangat besar terhadap perusahaan. Perusahaan-lah yang menguasai akses distribusi pupuk, modal usaha, penentuan harga TBS, sortir TBS, keahlian manajerial dan pembukuan, dan operasional pabrik pengolahan. Pekebun rakyat yang menjadi plasma umumnya tidak memiliki alternatif selain menerima berbagai pola dan mekanisme produksi dan pembagian hasil yang diajukan perusahaan. Pun di dalam perusahaan, posisi buruh kebun –terlebih yang berstatus harian, lepas, dan kontrak- tidak lebih baik di banding petani di luar perusahaan.
Oleh karena itu, sistem perkebunan baru yang mengacu pada cita-cita konstitusional, yaitu sistem ekonomi kerakyatan diterapkan melalui penguatan posisi pekebun mandiri di hadapan perusahaan. Pada awalnya dimungkinkan membangun kemitraan sejajar dengan perusahaan yang sudah menguasai begitu banyak aset produksi, tetapi perlahan hendaknya diarahkan ke depan pekebun mandiri sebagai determinan dalam pengelolaan usaha perkebunan sawit. Hal ini sejalan dengan arahan Hatta di mana segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya.
Dalam pada itu, aplikasi sistem ekonomi kerakyatan dapat diusahakan melalui dua pola sekaligus, yaitu pola pekerbunan kerakyatan yang memperkuat posisi pekebun mandiri dan yang memperkuat posisi buruh kebun dalam perusahaan. Pola perkebunan kerakyatan yang kedua menitikberatkan pada peningkatan akses dan kontrol buruh kebun dalam pengelolaan perusahaan. Arahnya adalah agar merekalah yang pada akhirnya -20 tahun ke depan- turut memimpin dan menilik (mengawasi) jalannya perusahaan sawit di Indonesia, untuk kemudian menjadi operatorship perusahaan perkebunan yang dipimpin secara umum oleh pekebun mandiri melalui organisasi (serikat) mereka.
Analisis ini lebih menitikberatkan pada aplikasi model perkebunan kerakyatan yang dapat menempatkan pekebun mandiri sawit yang terorganisir sebagai aktor penting dalam tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Dengan begitu perlahan tapi pasti sistem ekonomi perkebunan sawit bergerak dari corak feodal-kapitalistik menjadi sistem ekonomi kerakyatan. Operasionalisasi sistem ini setidaknya tergambar melalui dua model, yaitu model perkebunan kerakyatan berbasis peranan negara/BUMN (model A) dan model perkebunan kerakyatan berbasis koperasi rakyat (model B).
(Diringkaskan dari Riset Pekebun Mandiri)
(dikutip dari www.sawitwatch.or.id)
No comments:
Post a Comment